Jakarta (pilar.id) – Universitas Paramadina bersama PIEC, Yayasan Persada Hati, PGSI, dan Program Studi Falsafah Agama mengadakan Kajian Etika Peradaban ke-36 dengan tema Isu-isu Politik dan Strategis di Asia Tenggara serta Implikasi Kebijakan AS Era Donald Trump ke Asia.
Acara yang berlangsung di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt. 45 ini menghadirkan para pakar, termasuk Risa J. Toha, Associate Professor of Political Science dari Wake Forest University, dengan moderator Dr. Herdi Tri Nurwanto.
Dalam sambutannya, Dr. Handi Risza Idris, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina, menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mengkaji isu-isu global, khususnya dalam konteks multilateralisme dalam hubungan internasional.
“Kami menyambut baik kehadiran Mba Risa Toha dalam diskusi ini dan berharap agar kajian seperti ini terus berlanjut. Isu-isu global, termasuk dinamika kebijakan luar negeri, harus dipahami lebih dalam agar akademisi dan praktisi dapat memperoleh wawasan yang lebih luas,” ujarnya.
Sementara itu, Risa J. Toha mengungkapkan apresiasinya terhadap Universitas Paramadina yang aktif dalam diskusi akademik bertaraf internasional.
“Saya merasa sangat beruntung bisa berada di sini. Kampus ini memiliki pemandangan yang indah, sampai-sampai saya terdistraksi karenanya,” ujarnya sambil tersenyum.
Dinamika Politik Global Pasca 2016 dan Kebijakan Donald Trump
Dalam pemaparannya, Risa J. Toha menyoroti perubahan signifikan dalam hubungan internasional sejak Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Ia menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri AS di bawah Trump mengalami pergeseran drastis, dari pendekatan multilateral menuju kebijakan yang lebih transaksional.
“Menganalisis dampak kepemimpinan Trump bukanlah hal yang mudah. Salah satu peristiwa bersejarah dalam Pemilu 2024 adalah kemenangannya dalam popular vote, yang merupakan pertama kalinya bagi kandidat Partai Republik dalam dua dekade terakhir. Selain itu, dominasi Partai Republik di Senat dan Kongres semakin memperkuat arah kebijakan administrasi Trump,” paparnya.
Ia juga menyoroti kebijakan kontroversial Donald Trump, seperti tarif perdagangan agresif terhadap China, Meksiko, dan Kanada, restrukturisasi pemerintahan, termasuk penutupan USAID, dan penghindaran aliansi multilateral dengan lebih mengutamakan hubungan bilateral berbasis kepentingan strategis.
Menurutnya, kebijakan ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tantangan Asia Tenggara di Kancah Politik Global
Ketua PIEC, Pipip A. Rifai Hasan, menyoroti minimnya peran Asia Tenggara dalam membangun kerja sama politik yang kuat di tingkat global. Ia menilai bahwa pluralitas budaya, agama, dan sumber daya alam di kawasan ini menjadi tantangan tersendiri dalam membangun visi politik yang bersatu.
“Di Eropa, Kekristenan sering menjadi faktor pemersatu dalam membangun kekuatan politik bersama. Sementara itu, Asia Tenggara sangat plural, baik dari segi budaya, agama, hingga sumber daya alam. Hal ini membuat kerja sama politik di kawasan ini lebih kompleks dan belum mampu membentuk satu kekuatan politik yang berpengaruh secara global,” ungkapnya.
Pipip juga menyoroti tren otoritarianisme yang meningkat di berbagai negara Asia Tenggara. Seperti di Filipina, putra mantan Presiden Rodrigo Duterte mengancam akan membunuh presiden saat ini. Lalu di Thailand, militer tetap menjadi aktor dominan dalam pemerintahan.
“Jika tren ini terus berlanjut, demokrasi di Asia Tenggara bisa terancam,” tegasnya.
Sebagai Direktur PIEC, Pipip menekankan pentingnya strategi solid bagi negara-negara Asia Tenggara untuk tidak hanya fokus pada kerja sama ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi politik mereka di panggung internasional.
“Upaya ini diharapkan dapat menjadikan Asia Tenggara lebih berpengaruh dalam menentukan arah politik global di masa depan,” pungkasnya. (mad/hdl)