Surabaya (pilar.id) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama TNI dan Polri meningkatkan patroli serta razia untuk mencegah perang sarung yang kerap terjadi di kalangan anak-anak selama bulan Ramadan 1446 Hijriah.
Langkah ini diambil guna menjaga ketertiban dan keamanan, terutama pada dini hari menjelang sahur.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menegaskan bahwa patroli dilakukan setiap hari dengan melibatkan Satpol PP, Kepolisian, dan TNI.
“Itu yang kami lakukan bersama teman-teman Kepolisian, TNI, dan Satpol PP yang setiap hari berkeliling melakukan patroli,” ujar Eri Cahyadi, Jumat (7 Maret 2025).
Selain patroli, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Surabaya juga menggelar sosialisasi di tingkat RW.
Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai toleransi dan kebangsaan, serta menghilangkan kebiasaan perang sarung yang sering dikaitkan dengan aksi geng motor.
“Kegiatan Bakesbangpol salah satunya adalah di RW-RW, bagaimana menanamkan toleransi dan kebangsaan, serta menghilangkan perang sarung dan geng motor,” jelasnya.
Peran Orang Tua Cegah Perang Sarung
Meski patroli rutin dilakukan, aksi perang sarung masih terjadi di waktu berbeda. Biasanya, perang sarung berlangsung setelah razia selesai pukul 03.00 WIB, yaitu sekitar pukul 04.00 WIB menjelang sahur.
Oleh karena itu, Wali Kota Eri menegaskan bahwa partisipasi masyarakat, terutama orang tua, sangat penting dalam menekan aksi ini.
“Kalau hanya mengandalkan TNI, Polri, dan pemerintah, itu tidak cukup. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan agar kota ini berkembang dan aman,” tegasnya.
Ia juga meminta agar orang tua lebih mengawasi anak-anaknya, khususnya saat dini hari menjelang sahur.
“Kalau sebelum sahur anak-anak tidak diperbolehkan keluar rumah, itu bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah perang sarung,” jelasnya.
Sanksi Edukatif untuk Anak yang Terlibat
Pemkot Surabaya menerapkan sanksi edukatif bagi anak-anak yang tertangkap terlibat dalam perang sarung.
Mereka akan dibawa ke Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih untuk membantu merawat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai bentuk pelajaran moral.
“Sanksinya nanti dibawa ke Liponsos, memandikan ODGJ, membersihkan kamar mereka. Ini agar mereka melihat bahwa masih ada orang yang kurang beruntung,” ujar Wali Kota Eri.
Selain itu, sanksi lain yang diterapkan adalah membawa anak-anak ke makam untuk memberikan refleksi diri.
“Mereka akan diajak melihat kuburan, agar sadar dan berpikir, misalnya jika orang tua mereka meninggal nanti, siapa yang akan merawat mereka?” tambahnya.
Menurutnya, pendekatan yang dilakukan bukanlah hukuman keras, melainkan cara menyadarkan anak-anak agar tidak mengulangi perbuatannya.
“Kalau dimarahi, mereka malah tidak jadi apa-apa. Hukuman ini bertujuan untuk menyadarkan, bukan untuk merusak atau membuat mereka dendam,” pungkasnya. (usm/hdl)