Surabaya (pilar.id) – Media sosial menjadi sarana utama masyarakat dalam menyebarkan dan mengonsumsi konten selama Ramadan. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa konten hiburan dan konsumtif masih mendominasi, sementara pesan-pesan spiritual Ramadan kerap terabaikan.
Menurut data dari DoubleVerify, platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok semakin populer di kalangan pengguna selama Ramadan 2024. Yasin Al Raviri, pemerhati media digital dari Stikosa AWS, menjelaskan bahwa media sosial telah menjadi rujukan utama masyarakat untuk mencari hiburan dan informasi selama Ramadan hingga Idulfitri.
“Platform-platform ini semakin populer hingga 2023-2025. Media sosial menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk mencari hiburan dan informasi selama Ramadan,” ujar Yasin, Senin (17/3/2025).
Tren Konten Ramadan: Keluarga hingga Konsumtif
Data dari Facebook Indonesia pada 2017 mengungkapkan bahwa lebih dari 89 juta orang mengakses Facebook setiap bulan melalui perangkat mobile selama Ramadan.
Postingan teratas pada periode tersebut didominasi oleh topik keluarga (48 persen), diikuti oleh makanan dan minuman (16 persen), rumah tangga (10 persen), wisata (9 persen), dan berbelanja (6 persen).
“Meskipun topik keluarga mendominasi, konten tentang makanan, minuman, dan belanja juga menempati porsi signifikan. Hal ini mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan esensi spiritual Ramadan,” tambah Yasin.
Ramadan 2025: Semakin Jauh dari Esensi
Memasuki Ramadan 2025, Yasin menyoroti bahwa media sosial semakin jauh dari harapan. “Saat media sosial jadi rujukan, informasi yang mencerahkan malah semakin memudar. Konten hiburan yang berhubungan dengan lika-liku puasa tanpa esensi justru mendominasi,” ujar Ketua Bidang Hubungan Almamater dan Kemahasiswaan IKA Stikosa AWS ini
Fenomena politisasi dan komodifikasi Ramadan juga semakin terlihat. Ramadan kerap dimanfaatkan oleh politisi untuk pencitraan dan oleh merek-merek sebagai ajang pemasaran besar-besaran. “Akibatnya, nilai spiritual Ramadan bisa tergeser oleh kepentingan komersial atau politik,” tegas Yasin.
Kembali pada Esensi Ramadan
Yasin mengingatkan pentingnya kembali pada esensi Ramadan. “Ramadan seharusnya menjadi momen untuk hidup lebih sederhana, meningkatkan ibadah, refleksi diri, dan memperbaiki hubungan dengan sesama,” jelasnya.
Sayangnya, di media sosial, konten seperti buka bersama (bukber), tren ngabuburit, atau meme seputar puasa lebih banyak ditemui. “Ini tidak salah, tapi kalau terlalu dominan, esensi utama Ramadan bisa terlupakan,” ujarnya.
Sorotan pada Aksi Sosial dan Kesehatan Mental
Yasin juga menyoroti aksi sosial dan kegiatan berbagi selama Ramadan, seperti zakat, sedekah, atau program berbagi makanan, yang kerap tenggelam oleh gaya pencitraan.
“Aksi sosial lebih bertujuan untuk mendapat perhatian daripada benar-benar membantu. Perlu ada keseimbangan antara publikasi aksi sosial dengan niat yang tulus,” tegasnya.
Selain itu, pesan tentang kesehatan mental selama Ramadan masih kurang diangkat. “Ramadan juga bisa menjadi momen untuk memperbaiki keseimbangan emosi, mengelola stres, dan mendekatkan diri pada ketenangan spiritual,” ingat Yasin.
Tantangan ke Depan
Yasin menutup dengan pesan bahwa media massa, baik media sosial maupun media berita, seharusnya menjadi harapan untuk mengingatkan dan memantabkan audience agar tetap berada di koridor yang benar.
“Pesan-pesan edukatif tentang Ramadan harus lebih diutamakan daripada konten hiburan yang tidak mendidik,” tutupnya.
Dengan demikian, Ramadan diharapkan tidak hanya menjadi momen konsumtif dan hiburan, tetapi juga sebagai waktu untuk refleksi, ibadah, dan berbagi dengan sesama. (usm/hdl)