Surabaya Cetak Siswa Jadi Agen Anti-Bullying, Perkuat Peran Guru dan Fasilitas Curhat

3 days ago 19

Surabaya (pilar.id) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menggalang strategi komprehensif untuk memerangi praktik bullying atau perundungan di lingkungan sekolah. Langkah ini bergerak melampaui sekadar sosialisasi dengan mencetak para siswa menjadi fasilitator dan agen perubahan langsung di tengah teman sebayanya.

Kebijakan tersebut difokuskan untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang benar-benar aman dan positif, bebas dari segala bentuk ancaman perundungan.

Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya, Yusuf Masruh, mengonfirmasi bahwa terobosan ini akan segera diimplementasikan dalam waktu dekat.

“Rencananya, setelah Ujian Tengah Semester (UTS) dan mendekati masa liburan, kami akan mengumpulkan perwakilan siswa, seperti pengurus OSIS, Organisasi Pelajar Surabaya (Orpes), dan tim pemantau,” jelas Yusuf pada Jumat (14/11/2025).

Menurutnya, ratusan siswa terpilih tidak hanya dihimpun, melainkan juga akan dibekali pelatihan intensif. Tujuannya agar mereka mampu berperan sebagai fasilitator di sekolah masing-masing.

“Materi pembekalan utamanya mencakup perilaku digital yang sehat, penanaman nilai toleransi, semangat gotong royong, serta pemahaman mendalam mengenai 10 prinsip hak anak,” tambah Yusuf.

Dalam strategi pemberantasan bullying ini, Yusuf menegaskan bahwa tanggung jawab tidak boleh hanya dibebankan pada guru Bimbingan dan Konseling (BK). Dispendik Surabaya telah menginstruksikan seluruh elemen sekolah untuk meningkatkan pengawasan, disertai penekanan khusus pada pembangunan empati.

“Kami menekankan pentingnya membangun empati pada seluruh elemen guru, tidak terbatas hanya pada guru BK,” tegasnya.

Guru didorong untuk lebih proaktif dan peka dalam mengamati perubahan psikologis peserta didik. Apabila terdeteksi perubahan perilaku, guru diharapkan segera mendekati siswa yang bersangkutan.

Sikap diam dari seorang siswa dapat mengindikasikan berbagai kondisi, mulai dari masalah kesehatan hingga tekanan psikologis seperti perundungan oleh teman, yang harus segera diatasi agar tidak berlarut.

“Guru tidak hanya bertugas mengajar. Mereka harus proaktif mendekati anak yang menunjukkan perubahan, misalnya menjadi pendiam atau tertutup secara tiba-tiba. Ini bisa menjadi tanda adanya masalah serius yang membutuhkan penanganan segera,” papar Yusuf.

Pada tingkat operasional di sekolah, langkah pencegahan yang konkret akan melibatkan Tim Penanganan dan Pencegahan Kekerasan (TPPK). Tim ini didorong untuk memfasilitasi komunikasi yang lebih cair antarsiswa, salah satunya melalui aktivitas saling mencurahkan perasaan atau curhat.

“Kami yakin metode curhat antar teman sebaya ini jauh lebih efektif dalam mendeteksi dan menyelesaikan masalah pada tahap awal,” ujarnya.

Pemkot Surabaya juga menyadari bahwa ancaman perundungan tidak hanya terjadi di dunia fisik, tetapi juga merambah ke ranah daring (cyberbullying). Untuk mengatasi ini, kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dianggap krusial.

Dispendik aktif bersinergi dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) untuk menangani isu-isu terkait dunia siber.

“Larangan total akses internet bukan solusi yang realistis. Pendekatan yang lebih humanis adalah melalui pendampingan berkelanjutan, agar anak-anak memahami waktu yang tepat dan konten seperti apa yang aman untuk diakses,” terang Yusuf.

Sementara untuk penanganan pascakejadian, jika insiden perundungan terlanjur terjadi, proses penanganan kasus dan pemulihan korban akan disinergikan dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3AP2KB), yang memiliki konselor ahli.

“Sinergi ini, termasuk kerja sama dengan instansi lintas sektor seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Densus, diharapkan dapat memberikan perlindungan terbaik dan menyeluruh bagi anak-anak di Surabaya,” pungkas Yusuf. (rio)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |