Jakarta (pilar.id) – Analis pasar memproyeksikan energi baru terbarukan (EBT) akan terus menjadi tren utama, baik di Indonesia maupun global. Hal ini menciptakan peluang besar bagi perusahaan energi terbarukan yang akan melakukan initial public offering (IPO).
Presiden Prabowo Subianto dalam sejumlah kunjungan internasional, termasuk KTT APEC di Peru dan G20 di Brasil, menegaskan komitmen Indonesia mencapai 75 gigawatt (GW) energi terbarukan pada 2040. Komitmen tersebut juga disampaikan dalam COP 29 di Azerbaijan.
Hans Kwee, ekonom dan praktisi pasar modal, menyatakan tren global dan prioritas pemerintah Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan memberikan sentimen positif terhadap IPO perusahaan EBT.
“Komitmen lingkungan berkelanjutan dan kebijakan pemerintah mendukung daya tarik IPO perusahaan energi terbarukan bagi investor,” ujarnya.
Komitmen Indonesia pada Energi Terbarukan
Pemerintah menetapkan target ambisius: netral karbon pada 2060 atau lebih cepat, bauran energi bersih sebesar 23 persen pada 2025, dan 40 persen pada 2030.
Kementerian ESDM, melalui RUPTL 2024–2033, bahkan menargetkan bauran energi bersih mencapai 60 persen. PT PLN (Persero) juga melibatkan sektor swasta untuk membangun pembangkit EBT dengan kontribusi hingga 60 persen.
Potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.687 GW, tetapi pemanfaatannya baru 0,3 persen atau 13.781 MW, menurut data Kementerian ESDM per semester II/2024.
Potensi terbesar berasal dari tenaga surya (3.294 GW), tetapi pemanfaatannya baru mencapai 675 MW. Jenis lainnya seperti tenaga angin (155 GW), tenaga hidro (95 GW), bioenergi (57 GW), hingga panas bumi (23 GW) juga memiliki tingkat pemanfaatan yang rendah.
IPO Perusahaan EBT: Peluang dan Tantangan
Hans Kwee menyarankan investor untuk mencermati profil perusahaan energi terbarukan yang akan IPO, karena setiap jenis energi memiliki tantangan berbeda. Misalnya, pembangkit listrik tenaga panas bumi memerlukan investasi besar, sedangkan pembangkit tenaga angin bergantung pada kondisi cuaca.
Sentimen positif lainnya adalah peningkatan permintaan listrik di masa depan. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen diyakini akan mendorong sektor industri dan manufaktur, yang pada akhirnya meningkatkan konsumsi listrik.
Meski demikian, Hans menekankan perlunya insentif pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan, fiskal, maupun regulasi, untuk menarik minat investor.
“Potensi energi surya kita besar, tetapi pemanfaatannya masih minim. Selain itu, pembangkit listrik berbasis energi terbarukan perlu ditingkatkan agar kendaraan listrik dapat sepenuhnya ramah lingkungan,” tambahnya.
Tahun 2024 menunjukkan jumlah IPO lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh agenda politik seperti pilpres, pileg, dan pilkada, serta faktor eksternal seperti pilpres Amerika Serikat. Selain itu, daya beli masyarakat yang menurun dan kebijakan ketat otoritas bursa turut memengaruhi pasar IPO.
Namun, sektor energi terbarukan tetap menarik perhatian investor. Vice President Marketing Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, optimis bahwa IPO perusahaan EBT akan diminati karena dukungan kuat dari pemerintah dan tren bisnis yang berkelanjutan. (mad/hdl)