Surabaya (pilar.id) – Universitas Airlangga (UNAIR) resmi mengukuhkan Prof Dr Iman Prihandono SH MH LLM PhD sebagai guru besar Fakultas Hukum pada Rabu (30/4/2025) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR. Dalam pidato pengukuhannya, Prof Iman menyoroti pentingnya penerapan mandatory Human Rights Due Diligence (mHRDD) atau uji tuntas hak asasi manusia (HAM) secara wajib dalam praktik bisnis.
Melalui orasi ilmiah bertajuk Uji Tuntas HAM Secara Wajib Sebagai Instrumen Hukum Mewujudkan Praktik Bisnis yang Bertanggung Jawab, Prof Iman mengungkapkan bahwa masih lemahnya regulasi internasional membuat banyak perusahaan multinasional beroperasi tanpa akuntabilitas yang jelas terhadap HAM.
Ia menilai, meskipun telah ada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs), namun sifatnya yang hanya berupa soft law membuat perusahaan tidak memiliki kewajiban hukum untuk mematuhinya.
“Tanpa kewajiban hukum yang mengikat, banyak korporasi cenderung mengabaikan upaya pencegahan pelanggaran HAM. Ini menjadi penghambat besar dalam menciptakan rantai pasok yang adil dan berkelanjutan,” tegas Prof Iman.
Lebih lanjut, ia menyoroti belum adanya regulasi mHRDD di Indonesia, padahal data Komnas HAM menunjukkan bahwa aduan terhadap korporasi merupakan yang ketiga terbanyak. Dari total 2.753 aduan sepanjang tahun 2023, sebanyak 412 di antaranya berasal dari praktik bisnis yang berpotensi melanggar HAM.
“Kasus gagal ginjal akut akibat obat sirup, pencemaran lingkungan oleh PT Timah, hingga risiko sosial dari industri baterai kendaraan listrik harus menjadi peringatan bahwa isu ini nyata dan mendesak,” jelasnya.
Dorongan Implementasi mHRDD
Sembari menunggu regulasi resmi, Prof Iman mendorong perusahaan untuk mulai mengintegrasikan prinsip mHRDD dalam kegiatan operasional mereka dan menyesuaikan dengan ketentuan UNGPs. Ia menekankan pentingnya menjaga transparansi dalam audit dan pelaporan.
“Jika perusahaan menggunakan auditor, maka harus dipastikan tidak ada intervensi untuk menutupi dampak HAM yang telah teridentifikasi,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan agar regulasi yang akan disusun pemerintah tidak memberi celah kepada korporasi untuk melakukan praktik ‘thinking the box’, yakni mencari celah hukum untuk menghindari kewajiban HAM.
“Peraturan mHRDD harus mampu mengubah perilaku perusahaan agar lebih menghormati HAM di seluruh rantai nilai,” ujarnya.
Menurutnya, penerapan mHRDD tak hanya bermanfaat bagi korban atau masyarakat, tetapi juga berdampak positif bagi perusahaan dan negara. Melalui mekanisme ini, perusahaan bisa lebih awal mengidentifikasi risiko hukum, meningkatkan transparansi, serta memperkuat reputasi di tingkat global.
“Regulasi mHRDD yang pasti akan menjadi daya tarik bagi investasi berkelanjutan dan mencerminkan adanya political will yang kuat, selaras dengan visi Indonesia Emas 2045,” pungkas Prof Iman. (rio/ted)