Palembang (pilar.id) – Di balik sejarah kejayaan Kesultanan Palembang, tersimpan kisah tentang perpustakaan megah milik Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo yang pernah menjadi simbol kekayaan intelektual Nusantara.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Alan Darmawan, mengungkap bahwa perpustakaan tersebut digambarkan oleh komisaris Belanda, Sevenhofen, pada tahun 1822 sebagai audigestrechte bibliothek—koleksi yang luar biasa besarnya.
Namun, kejayaan itu tidak bertahan lama. Serangkaian serangan oleh Inggris dan Belanda pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19 menyebabkan istana Palembang hancur. Perpustakaan yang menyimpan ratusan naskah penting dijarah, dan banyak naskah menghilang dibawa penjajah maupun keluarga kerajaan yang melarikan diri.
Merekonstruksi Jejak yang Hilang
Melalui Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (SIPN) XX yang digelar secara hybrid pada 16 Oktober, Alan Darmawan memaparkan hasil penelitian terbarunya bertajuk Reconstructing a Sumatran Royal Manuscript Library: Thinking Through Landscapes, Objects, and Performances.
Penelitian ini mencoba merekonstruksi perpustakaan yang hilang tersebut melalui pendekatan interdisipliner, mencakup analisis lanskap, materialitas naskah, hingga pertunjukan budaya.
Sejauh ini, telah teridentifikasi 144 item naskah yang selamat, terdiri dari manuskrip, dokumen resmi, hingga buku, meski jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan deskripsi historis tentang skala koleksi aslinya.
Naskah-Naskah yang Terserak
Hasil pelacakan menunjukkan naskah-naskah peninggalan Kesultanan Palembang kini tersebar di berbagai lembaga internasional. Sebagian besar berada di:
- Royal Asiatic Society (dibawa oleh Thomas Stamford Raffles),
- Perpustakaan Universitas Oxford,
- Leiden University Library, Belanda,
- serta di Perpustakaan Nasional Indonesia.
Salah satu dokumen penting yang berhasil dilacak adalah surat dari Gubernur Jenderal Belanda kepada Sultan Palembang pada 1780-an, memperkuat bukti tentang keberadaan arsip resmi yang dirampas kolonial.
Penyelamatan oleh Warga Palembang
Menariknya, tidak semua naskah jatuh ke tangan penjajah. Penelusuran etnografis BRIN mengungkap bahwa sebagian naskah berhasil diselamatkan oleh warga lokal. Mereka membawa naskah-naskah tersebut keluar dari istana melalui Lawang Borotan, pintu belakang yang terhubung ke kanal, untuk disembunyikan di rumah-rumah penduduk.
“Pada era 1980-an dan 1990-an, para filolog tidak menyangka masih ada naskah yang selamat di tangan masyarakat,” ungkap Alan, dikutip dari laman resmi BRIN.
Fakta ini baru terungkap berkat proyek digitalisasi seperti DreamSea dan Endangered Archives Programme (EAP) pada awal abad ke-21. Proyek-proyek ini menemukan bahwa banyak naskah bertema keagamaan Islam, yang tidak diminati kolonial, justru tetap utuh dan terawat oleh masyarakat.
Ciri Khas Naskah Palembang
Naskah-naskah Palembang memiliki karakteristik fisik yang khas. Penjilidan menggunakan kulit dengan motif medali intan floral di tengah dan empat sudut yang serupa. Gaya ini berbeda dengan naskah dari Aceh atau Minangkabau yang cenderung lebih terbuka dan tanpa lem.
Salah satu contoh naskah yang dianalisis adalah Ihya Ulumuddin yang ditulis di atas kertas Utsmaniyah dari akhir abad ke-17 (1692–1695). Kolofon naskah menyebutkan kepemilikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, yang memerintah antara tahun 1724 hingga 1757.
Tradisi yang Masih Hidup
Warisan intelektual ini juga tidak lepas dari dimensi budaya yang hidup di masyarakat. Tradisi keagamaan seperti Zikir Ratib Saman, yang masih dijalankan oleh tokoh masyarakat seperti Kemas Andi Syarifuddin, memiliki kaitan erat dengan naskah-naskah kuno tersebut. Tradisi ini menjadi pengingat akan peran ulama dan masjid dalam perjuangan melawan penjajahan.
Upaya merekonstruksi perpustakaan Sultan Palembang ibarat menyusun puzzle sejarah yang berserakan. Dari 144 naskah yang telah berhasil diidentifikasi, masih banyak yang belum ditemukan.
Penelitian ini menegaskan bahwa naskah bukan hanya dokumen tertulis, tetapi juga menyimpan narasi perlawanan, ketahanan budaya, dan keagungan peradaban lokal yang pernah berdiri megah di tepian Sungai Musi. (ret/hdl)