100 Hari Trump: Gejolak Ekonomi dan Geopolitik Ancam Indonesia

6 days ago 16

Jakarta (pilar.id) – Kebijakan unilateral Presiden Donald Trump dalam 100 hari masa jabatan keduanya dinilai memicu ketidakstabilan global yang berdampak langsung terhadap perekonomian dan geopolitik Indonesia.

Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “100 Hari Trump: Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia?” secara daring melalui Zoom pada Jumat, 2 Mei 2025. Acara ini membedah dampak kebijakan Presiden Donald Trump terhadap kondisi global dan respons strategis yang perlu disiapkan Indonesia.

Dalam paparan ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, ditekankan bahwa dunia tengah menghadapi ketidakpastian luar biasa akibat manuver Trump. Ia menyoroti sampul majalah The Economist yang menggambarkan elang Amerika Serikat babak belur, menyiratkan kelelahan dunia menghadapi gaya kepemimpinan Trump.

Data ekonomi menunjukkan bahwa PDB Amerika Serikat mengalami kontraksi sebesar -0,3 persen pada kuartal pertama 2025. Lembaga keuangan JP Morgan bahkan memprediksi potensi resesi hingga 40 persen. Penurunan impor AS dari Tiongkok yang mencapai 70 hingga 80 persen mencerminkan dampak langsung perang dagang yang dilancarkan Trump.

Indeks kepercayaan konsumen AS juga turun ke angka 86, jauh di bawah ambang normal 100. Namun, alih-alih mengakui kondisi krisis, Trump masih menyalahkan Joe Biden atas memburuknya ekonomi nasional.

Gaya Kepemimpinan Trump dan Dampaknya ke Indonesia

Wijayanto mengungkap dua karakteristik utama Trump: melihat politik sebagai panggung reality show, serta kekhawatiran terhadap kebangkrutan fiskal AS. Defisit anggaran yang selama satu dekade terakhir berkisar antara 3,1 hingga 5,8 persen terhadap PDB, dijadikan dalih untuk menaikkan tarif impor demi melindungi industri domestik dan menekan pengeluaran negara. Sayangnya, kalkulasi kebijakan tersebut justru memperparah kondisi fiskal.

Bagi Indonesia, ketergantungan terhadap pasar AS cukup signifikan. Sekitar 45,4 persen dari surplus ekspor Indonesia berasal dari pasar Amerika. Pemerintah Indonesia dinilai cukup responsif dengan membentuk tiga satuan tugas (satgas): perundingan dagang, perluasan kesempatan kerja, dan deregulasi.

“Kita membutuhkan deregulasi total. Saatnya Indonesia bersaing eye to eye dan neck to neck dengan Vietnam,” tegas Wijayanto. Ia juga menyoroti rendahnya kecanggihan ekspor Indonesia, yang masih didominasi komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit (CPO), nikel, dan gas alam, yang menyumbang 40 persen dari total ekspor nasional.

Untuk bisa bersaing secara global, Indonesia harus menjalankan reformasi struktural: dari penyederhanaan perizinan, peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hingga insentif pajak dan efisiensi logistik.

Tantangan Diplomatik dan Ancaman Unilateralisme

Dinna Prapto Raharja, pakar hubungan internasional dari Synergy Policies, mengungkap bahwa Trump telah menandatangani 142 Executive Orders dalam 100 hari pertama, angka tertinggi dalam sejarah AS. Kebijakan ini tidak hanya mengubah lanskap domestik AS, tetapi juga menciptakan gejolak global.

Trump diketahui menarik AS dari WHO dan Paris Agreement, memangkas anggaran USAID, serta menghentikan bantuan luar negeri termasuk untuk perubahan iklim. Langkah ini menandai era baru proteksionisme dan berakhirnya kerja sama multilateral.

Menurut Dinna, tatanan hubungan internasional yang selama ini bersandar pada prinsip kerja sama dan saling percaya kini digantikan oleh isolasionisme dan kompetisi global. Indonesia menghadapi situasi darurat diplomasi, di mana prinsip win-win solution tak lagi berlaku.

Dampak lainnya adalah meningkatnya risiko eskalasi militer. Isu-isu strategis seperti penguasaan teknologi drone, kecerdasan buatan, dan luar angkasa kini tidak lagi dipertukarkan secara terbuka. Risiko pre-emptive strike dan perlombaan senjata pun meningkat, dan Indonesia diminta waspada.

Krisis Internal AS dan Dampaknya secara Global

Andi Mallarangeng, pengamat politik AS, menambahkan bahwa kebijakan Trump justru menciptakan instabilitas domestik. Approval rating-nya anjlok tajam—terburuk dalam 70 tahun terakhir. Inflasi melonjak akibat kelangkaan barang impor murah, terutama dari Tiongkok.

“Perang dagang justru menghantam konsumen AS secara langsung. Harga barang naik, daya beli menurun, dan perusahaan lokal kesulitan substitusi impor dalam waktu singkat,” ujar Andi. Ia juga menyebut tahun 2026 sebagai ujian besar bagi Trump menjelang pemilu sela (midterm election).

Diskusi ini menyimpulkan bahwa Indonesia tak boleh hanya bereaksi, melainkan harus membentuk ulang kebijakan luar negeri dan ekonomi agar tetap relevan, adaptif, dan kompetitif dalam menghadapi ketidakpastian global. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |