Jakarta (pilar.id) – Asia Tenggara memiliki peluang besar untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan melalui pendekatan berbasis sistem. Edisi ke-6 Southeast Asia’s Green Economy Report yang dirilis oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek mengungkap bahwa enam negara utama Asia Tenggara (SEA-6)* berpotensi menambah pertumbuhan PDB hingga 120 miliar Dollar AS (sekitar Rp 1.920 triliun), menciptakan 900.000 lapangan kerja baru, dan menutup hingga 50 persen kesenjangan emisi pada 2030.
Laporan tersebut menekankan pentingnya melihat ekonomi hijau sebagai sistem kompleks dan saling terhubung, bukan sekadar sektor terpisah. Pendekatan ini mencakup pengidentifikasian hambatan sistemik terhadap dekarbonisasi, solusi lintas sektor yang berdampak tinggi, serta prioritisasi strategi yang mendorong transformasi berkelanjutan.
“Lingkungan makro saat ini memang menantang, tapi bukan hambatan. Pemerintah, perusahaan, dan investor justru dapat menata ulang prioritas mereka. Dengan pendekatan sistemik, Asia Tenggara bisa menulis ulang peta jalan ekonominya,” ujar Dale Hardcastle, Partner di Bain & Company.
Tiga Solusi Inti Ekonomi Hijau
Tiga solusi inti yang disoroti dalam laporan ini meliputi:
- Bioekonomi Berkelanjutan – Menjadi kontributor 25–30 persen lapangan kerja di SEA-6, bioekonomi juga menyumbang 30 persen emisi regional. Reformasi lahan, peningkatan produktivitas pertanian, dan pasar karbon sangat dibutuhkan.
- Jaringan Listrik Generasi Berikutnya – Modernisasi sistem kelistrikan, pengembangan energi terbarukan, dan konektivitas lintas negara di Asia Tenggara dapat mengurangi biaya dekarbonisasi sebesar 11 persen pada 2050.
- Ekosistem Kendaraan Listrik (EV) – Dengan penetrasi EV masih rendah, kawasan ini perlu mendorong adopsi dan manufaktur lokal agar tidak tertinggal dari tren global.
Tiga Solusi Pendukung
Laporan ini juga menyoroti tiga faktor pendukung utama:
- Pembiayaan Iklim dan Transisi – Kesenjangan pendanaan lebih dari 50 miliar Dollar AS membutuhkan model blended finance dan dukungan kebijakan.
- Pasar Karbon – Perlu penguatan infrastruktur, harga stabil, dan adopsi skema kepatuhan untuk meningkatkan kepercayaan investor.
- Green AI dan Pusat Data – Dengan pertumbuhan 19 persen per tahun, pusat data dapat berkontribusi hingga 2 persen emisi. AI dapat bantu kurangi emisi sektor-sektor utama hingga 5 persen.
Spencer Low dari Google menekankan pentingnya investasi pada teknologi rendah karbon untuk pusat data dan adopsi AI demi pengurangan emisi lintas sektor.
Investasi Hijau Meningkat Signifikan
Investasi hijau swasta di SEA-6 naik 43 persen menjadi 8 miliar Dollar AS pada 2024, dipimpin oleh sektor surya dan pengelolaan limbah. Malaysia dan Singapura menyumbang lebih dari 60 persen nilai transaksi tersebut. Sementara itu, investasi asing dari luar kawasan Asia-Pasifik meningkat tiga kali lipat.
Meski investasi domestik turun 40 persen, investor lokal tetap aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau di wilayah APAC lainnya.
Asia Tenggara menyumbang 7,5 persen emisi global dan belum menunjukkan penurunan signifikan. Dengan waktu hanya lima tahun menuju 2030, kawasan ini perlu bergerak cepat. Kolaborasi lintas negara dan sektor menjadi kunci.
“Transisi menuju ekonomi rendah karbon tidak bisa ditunda lagi. Ini bukan sekadar soal target, tapi tentang masa depan ekonomi dan ketahanan kawasan,” tegas Donny Donosepoetro OBE, CEO Standard Chartered Indonesia. (mad/hdl)