Jakarta (pilar.id) – Setiap 21 April, bangsa Indonesia mengenang Raden Ajeng Kartini sebagai simbol perjuangan emansipasi perempuan. Namun, pemikiran Kartini jauh melampaui feminisme.
Gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam surat-suratnya menggambarkan keresahan sosial, harapan, serta idealisme untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Gagasan Kartini dalam Surat-Suratnya
Setelah Kartini wafat, Jacques Henry Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, membukukan surat-suratnya kepada sahabat-sahabat di Eropa dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911), yang berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Kumpulan surat tersebut menjadi tonggak pemikiran progresif Kartini.
Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Melayu oleh Empat Saudara dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922), dan versi lain oleh sastrawan Armijn Pane pada 1938. Versi Armijn Pane disusun menjadi lima bab untuk menunjukkan perkembangan pola pikir Kartini.
Isi Pemikiran: Pendidikan, Kemanusiaan, dan Nasionalisme
Dalam surat-suratnya, Kartini menyoroti keterbatasan perempuan Jawa karena adat istiadat yang membelenggu. Ia menggugat sistem pingit dan pernikahan paksa yang membuat perempuan kehilangan hak atas pendidikan dan kebebasan.
Kartini menuliskan konsep seperti Zelf-ontwikkeling (pengembangan diri), Zelf-vertrouwen (percaya diri), Solidariteit (solidaritas), serta Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan Keindahan), yang menjadi dasar perjuangannya.
Ia juga menekankan pentingnya Humanitarianisme dan Nasionalisme sebagai bagian dari perjuangan membangun bangsa.
Harapan yang Tak Selalu Tercapai
Meski ayahnya termasuk progresif, Kartini hanya bisa bersekolah hingga usia 12 tahun. Keinginannya untuk melanjutkan studi ke Belanda akhirnya kandas karena pertimbangan adat dan keluarga.
Bahkan rencana untuk belajar menjadi guru di Betawi pun harus dibatalkan karena pernikahan dengan Adipati Rembang pada 1903.
Meski begitu, dalam surat-suratnya menjelang pernikahan, terlihat perubahan pandangan Kartini terhadap adat. Ia menjadi lebih toleran dan melihat pernikahan sebagai jalan untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah perempuan bumiputra.
Warisan Pemikiran dalam Berbagai Buku
Gagasan Kartini terus hidup dalam berbagai buku. Selain Habis Gelap Terbitlah Terang, terbit juga:
- Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya oleh Sulastin Sutrisno (1979)
- Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900–1904 oleh Joost Coté, yang memuat 108 surat asli
- Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme yang mengulas surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar (1899–1903)
- Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, yang menggali pemikiran Kartini dari berbagai sumber
Melalui buku-buku tersebut, publik mengenal Kartini sebagai sosok pemikir yang mendobrak batas zaman, bukan hanya karena perjuangan untuk perempuan, tetapi juga karena pandangannya tentang pendidikan, kemanusiaan, dan cinta tanah air.
Hari Kartini bukan sekadar perayaan pakaian adat. Ini adalah momentum untuk menggali lebih dalam warisan intelektual Kartini. Ia bukan hanya tokoh emansipasi perempuan, tetapi juga peletak dasar kebangkitan intelektual bangsa Indonesia. (ret/hdl)