Riga (pilar.id) — Pemerintah Latvia secara resmi memerintahkan 841 warga negara Rusia untuk meninggalkan wilayahnya paling lambat 13 Oktober 2025. Langkah ini diambil setelah mereka dinyatakan gagal memenuhi persyaratan izin tinggal baru, termasuk kewajiban menguasai bahasa Latvia tingkat dasar (A2) dan lolos pemeriksaan keamanan nasional
Kebijakan ini merupakan bagian dari pengetatan hukum imigrasi Latvia sejak tahun 2022, menyusul invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. Peraturan tersebut diperkuat lagi pada 2024 dan berlaku khususnya bagi warga Rusia yang ingin tetap tinggal secara legal di negara Baltik tersebut.
Syarat Ketat: Bahasa, Izin Tinggal, dan Keamanan
Amendemen yang diberlakukan mengharuskan warga Rusia untuk memperoleh status penduduk jangka panjang Uni Eropa (EU long-term residence), menunjukkan kemampuan berbahasa Latvia minimal tingkat A2, dan lulus penyaringan latar belakang dan keamanan nasional sebelum 30 Juni 2025.
Menurut otoritas Latvia, sekitar 30.000 warga Rusia terdampak kebijakan ini. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.600 orang telah secara sukarela meninggalkan Latvia, sedangkan sisanya masih diharapkan memenuhi aturan atau angkat kaki dari negara itu.
Kepala Kantor Urusan Kewarganegaraan dan Migrasi (OCMA), Maira Roze, menyebut banyak dari mereka bahkan tidak menyadari adanya perubahan hukum, hingga mereka kehilangan akses terhadap tunjangan sosial dan pensiun.
“Begitu mereka tak menerima pensiun, baru mereka sadar ada yang salah. Mereka bertanya: ‘Kenapa saya tidak dapat tunjangan?’ Kami jawab: ‘Anda tidak punya izin tinggal. Anda harus penuhi persyaratan hukum,’” ujar Roze dalam program De Facto di televisi nasional Latvia.
Deportasi Menanti Jika Tak Patuhi Batas Waktu
Menurut Madara Puke, Kepala Humas OCMA, jika warga Rusia tersebut tetap bertahan di Latvia setelah batas waktu 13 Oktober tanpa alasan yang sah, keberadaan mereka akan dianggap ilegal, dan seluruh akses ke layanan sosial akan dicabut.
“Kami bisa melakukan deportasi paksa jika terjadi ketidakpatuhan secara terus-menerus,” tegasnya.
Bersamaan dengan langkah hukum tersebut, kekhawatiran terhadap ancaman militer Rusia juga mendorong Latvia menyusun rencana kontinjensi evakuasi massal, terutama jika terjadi penumpukan pasukan atau serangan langsung dari Rusia.
Pemerintah Latvia memperkirakan hingga sepertiga dari 1,9 juta penduduknya mungkin harus dievakuasi jika invasi terjadi, menurut keterangan Ivars Nakurts, Wakil Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Nasional Latvia.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya peningkatan keamanan nasional Latvia dalam beberapa bulan terakhir, menyusul eskalasi ketegangan dengan Moskow.
Langkah Politik dan Energi: Memutus Jejak Soviet
Pada Mei lalu, Latvia bersama dua negara Baltik lainnya, Lituania dan Estonia, menyerukan kepada negara-negara Uni Eropa untuk menangguhkan seluruh pemberian visa kepada warga Rusia, karena meningkatnya dugaan aktivitas sabotase yang didukung Kremlin di Eropa.
Sementara itu, pada Februari, ketiga negara tersebut juga secara resmi memutus koneksi jaringan listrik dari Rusia dan Belarus, mengakhiri ketergantungan energi warisan era Soviet. Meski pembelian gas dan listrik dari Rusia telah dihentikan sejak 2022, infrastruktur energi mereka masih terhubung hingga awal 2025.
Penegakan Hukum atau Tekanan Politik?
Kebijakan Latvia terhadap warga Rusia ini menuai perhatian internasional. Di satu sisi, langkah ini dinilai sebagai bentuk penegakan hukum dan perlindungan keamanan nasional. Namun di sisi lain, muncul kritik yang mempertanyakan aspek kemanusiaan dan perlindungan minoritas.
Meski demikian, pemerintah Latvia tetap bersikukuh bahwa kebijakan ini penting untuk menjamin kedaulatan negara, terutama dalam situasi geopolitik yang semakin tidak stabil di kawasan Eropa Timur. (mad/hdl)