Masuki Quantum Age, Negara Diminta Adaptif Hadapi Ancaman Teknologi dan Krisis Kepercayaan Publik

5 days ago 24

Bekasi (pilar.id) – Pergeseran teknologi global dinilai memasuki fase baru yang disebut sebagai Quantum Age, sebuah era ketika algoritma, kecerdasan buatan, dan sistem otomatis mampu mengambil keputusan tanpa campur tangan manusia. Hal tersebut menjadi salah satu sorotan utama dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun yang digelar DEEP Indonesia, Deep Intelligence Research (DIR), dan Rumah Perubahan di Bekasi.

Dalam sesi pemaparan utama, Guru Besar Ilmu Manajemen Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. menyampaikan bahwa dinamika dunia tidak lagi bergerak secara linier ataupun eksponensial. Ia menilai perubahan bersifat melompat-lompat dan menuntut respons negara yang jauh lebih gesit. Menurutnya, ancaman modern bukan lagi sekadar kekuatan militer, tetapi muncul dari kecerdasan buatan, manipulasi informasi, hingga serangan digital yang sifatnya tidak kasat mata.

Rhenald menilai bahwa bila negara masih mengandalkan pola kerja birokratis dan lambat, maka risiko ketertinggalan semakin besar. Ia mengingatkan bahwa konflik di era baru dapat timbul hanya dari pergerakan algoritma, yang memungkinkan keputusan penting diambil oleh mesin. Dalam konteks tersebut, negara dituntut menyesuaikan ritme kerja dengan cara masyarakat berinteraksi di ruang digital.

Riset DIR: Krisis Kepercayaan Publik Menguat Sepanjang 2025

Pada sesi berikutnya, Direktur DEEP Indonesia sekaligus Direktur Komunikasi DIR, Neni Nur Hayati, memaparkan hasil riset berbasis artificial intelligence terhadap 174.730 percakapan publik di media sosial sepanjang 2025. Analisis tersebut menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap berbagai sektor nasional.

Riset menemukan bahwa percakapan warganet banyak dipenuhi isu otoritarianisme, konflik elite, dan perdebatan mengenai PSU yang tak kunjung tuntas. Gelombang terbesar perbincangan publik terjadi saat demonstrasi nasional 28 Agustus, yang memicu lonjakan sentimen negatif.

Isu hukum pun tercatat mengalami penurunan persepsi positif. Narasi seputar pembahasan RUU KUHAP serta sejumlah kasus besar seperti yang menyeret nama Hasto, Tom Lembong, dan Ira Puspadewi menjadi pemantik utama kritik publik. Selain itu, persepsi bahwa KPK semakin tidak relevan turut menjadi tema yang bertahan cukup lama.

Program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan perhatian signifikan, namun publik menyuarakan kekhawatiran mengenai kesiapan implementasinya. Sementara itu, janji pertumbuhan ekonomi 8 persen dinilai sebagian warganet sebagai harapan yang sulit dicapai dalam situasi saat ini.

Dalam isu global, publik menilai adanya ketidakkonsistenan sikap pemerintah terhadap krisis Gaza. Temuan DIR menunjukkan jurang persepsi antara pemberitaan media yang cenderung positif dan respons publik yang justru dipenuhi ketidakpercayaan.

Tantangan Baru: Data Melimpah, Kolaborasi Minim

Menanggapi hasil riset tersebut, Rhenald menilai bahwa negara harus mengadopsi pola kerja baru yang kompatibel dengan kecepatan teknologi masa kini. Menurutnya, masyarakat telah hidup dengan logika digital, sehingga institusi negara perlu mengejar ritme perubahan tersebut agar tidak memperluas jurang ketidakpercayaan.

Forum yang dihadiri berbagai tokoh lintas sektor—termasuk Andi Widjajanto, Atmaji Sapto Anggoro, H. Oleh Soleh, Muhammad Sarmuji, Muhammad Kholid, serta Bupati Lamongan Yuhronur Efendi—menyimpulkan bahwa tantangan demokrasi, hukum, ekonomi, dan tata kelola negara menuntut pendekatan kolaboratif.

Menutup forum, Neni Nur Hayati menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia bukan lagi pada ketersediaan data, melainkan pada kemampuan memanfaatkannya secara kolektif. Ia menilai bahwa data baru memberikan dampak nyata ketika pemerintah, kalangan legislatif, akademisi, pelaku teknologi, dan masyarakat sipil bergerak dalam satu ekosistem yang saling terhubung. Menurutnya, tanpa kolaborasi lintas sektor, Indonesia akan kesulitan mengikuti percepatan perubahan di era kuantum.

Tentang Deep Intelligence Research (DIR)

DIR adalah lembaga riset berbasis kecerdasan buatan yang berdiri pada 2025. Lembaga ini berfokus pada pemanfaatan big data untuk mendukung pengambilan keputusan publik dan bisnis secara lebih akurat, transparan, dan presisi. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |