Jakarta (pilar.id) – Setelah lebih dari dua dekade menjadi pionir komunikasi digital global, Microsoft secara resmi menutup layanan Skype. Pengumuman ini menandai akhir dari sebuah era, tepat hampir 14 tahun setelah perusahaan teknologi raksasa tersebut mengakuisisi Skype seharga 8,5 miliar Dollar AS pada tahun 2011.
Skype, yang dulunya menjadi raja dalam layanan panggilan suara dan video berbasis internet, kini tak mampu lagi bersaing di tengah menjamurnya aplikasi modern seperti Zoom, Google Meet, hingga WhatsApp.
Padahal, pada masa kejayaannya di tahun 2009, Skype memiliki 405 juta pengguna dan menyumbang 8 persen dari total menit panggilan internasional di seluruh dunia.
Skype: Dari Inovator ke Korban Teknologi
Pada tahun 2003, Michael Powell, Ketua FCC (Federal Communications Commission) AS saat itu, pernah menyatakan bahwa Skype adalah masa depan komunikasi.
Prediksi itu tidak meleset. Skype memelopori sistem komunikasi peer-to-peer yang memungkinkan penggunanya melakukan panggilan suara, video, mengirim SMS, hingga membuat konferensi daring dengan ratusan peserta — semua dalam satu platform.
Namun seiring waktu, kekuatan teknologi peer-to-peer yang dulu menjadi keunggulan utama Skype justru menjadi beban.
Arsitektur sistem yang rumit dan tidak cocok untuk era mobile modern membuat Skype tertinggal. Perangkat seluler membutuhkan aplikasi yang selalu terhubung, ringan, dan berbasis cloud — sesuatu yang sulit dilakukan Skype tanpa membongkar fondasi teknologinya.
Strategi Microsoft dan Kehilangan Momentum
Setelah mengakuisisi Skype, Microsoft memutuskan untuk menutup layanan pesan populernya, Windows Live Messenger, demi memfokuskan sumber daya pada Skype.
Namun, alih-alih menyempurnakan produk, Microsoft dinilai justru menjejalkan terlalu banyak fitur yang tak relevan. Peluncuran ulang antarmuka yang gagal dan eksperimen seperti Skype Qik malah membuat pengguna kebingungan.
Saat pandemi COVID-19 meledak pada 2020 dan kebutuhan video call meningkat tajam, justru aplikasi seperti Zoom yang meraup perhatian global.
Skype, yang semestinya menjadi pilihan utama, gagal memanfaatkan momentum tersebut. Saat Microsoft meluncurkan Teams — aplikasi komunikasi yang fokus pada pengguna korporat — prioritas Skype semakin terpinggirkan.
Skype: Mimpi Komunikasi Global yang Tak Selesai
Skype pernah menyatukan dunia melalui satu identitas: cukup dengan akun Skype, seseorang bisa menghubungi siapa pun di seluruh dunia. Namun kini, ekosistem komunikasi terpecah ke dalam berbagai aplikasi tertutup — dari WhatsApp hingga Signal — yang semuanya menawarkan solusi parsial.
“Yang kita butuhkan bukan sekadar platform media sosial atau aplikasi kerja,” tulis seorang analis teknologi. “Kita butuh lapisan komunikasi internet yang universal dan terbuka. Skype dulu hampir menjadi itu.”
Meski sudah lama tak digunakan oleh banyak orang, kepergian Skype tetap menyisakan nostalgia. Ia adalah lambang dari mimpi tentang komunikasi global yang bebas, efisien, dan mudah diakses siapa saja. (hdl)