Jakarta (pilar.id) — The Mauritanian adalah film drama hukum yang dirilis pada 2021, mengangkat kisah nyata mengejutkan dari Mohamedou Ould Slahi, seorang pria Mauritania yang ditahan tanpa dakwaan di penjara militer Teluk Guantánamo selama 14 tahun.
Film ini disutradarai oleh Kevin Macdonald dan dibintangi oleh jajaran aktor ternama seperti Jodie Foster, Tahar Rahim, Shailene Woodley, dan Benedict Cumberbatch.
Berdasarkan buku memoar Guantánamo Diary karya Slahi yang menjadi bestseller pada 2015, film ini menyajikan potret kelam sistem peradilan Amerika Serikat pasca tragedi 9/11.
Slahi ditahan karena dugaan keterlibatannya dalam perekrutan pelaku serangan tersebut, meski hingga bertahun-tahun tidak ada dakwaan resmi yang dijatuhkan.
Tahar Rahim tampil memukau sebagai Slahi, menampilkan karakter penuh emosi dan kedalaman di tengah narasi yang cenderung datar.
Jodie Foster memerankan Nancy Hollander, pengacara yang secara sukarela membela Slahi dalam kasus habeas corpus. Bersama asistennya, Teri Duncan (Shailene Woodley), Hollander berjuang menantang sistem hukum Amerika yang penuh kerahasiaan dan pelanggaran hak asasi.
Di sisi lain, Letkol Stuart Couch (Benedict Cumberbatch), seorang jaksa militer, ditugaskan untuk menuntut Slahi.
Namun proses hukum yang penuh intrik membuatnya menghadapi dilema moral yang besar. Karakter-karakter lain seperti Neil Buckland (Zachary Levi) dan Arjun (Saamer Usmani) memperkuat atmosfer politik dan hukum yang mencekam dalam film ini.
Salah satu aspek paling mencengangkan dalam film ini adalah adegan interogasi brutal terhadap Slahi. Penyiksaan yang diperlihatkan secara gamblang meliputi kekerasan fisik, tekanan psikologis, dan pelecehan seksual, mencerminkan metode “proyek khusus” yang disetujui oleh Menteri Pertahanan saat itu, Donald Rumsfeld. Meski sudah menjadi pengetahuan umum, visualisasi dalam film ini tetap mengguncang.
Namun, film ini menuai kritik karena dinilai kurang menggugah secara emosional, meskipun mengangkat isu yang sangat penting. Kritik juga mengarah pada gaya penceritaan yang terlalu metodis dan tidak memberikan hubungan personal yang kuat antar karakter, kecuali pada tokoh Slahi sendiri.
Sinematografi dari Alwin H. Küchler berhasil menangkap atmosfer penjara yang sempit dan mencekam, kontras dengan kebebasan yang dinikmati para petugas militer di luar penjara.
Musik dari Tom Hodge mencoba membangun emosi, namun tidak sepenuhnya berhasil menambal kekosongan narasi.
Yang paling menyentuh justru hadir di bagian akhir, ketika video asli Mohamedou Slahi ditampilkan saat kredit film. Ketegarannya setelah bertahun-tahun mengalami penyiksaan dan ketidakadilan menjadi pesan kuat yang membekas.
Potongan dokumenter ini justru menyiratkan bahwa Macdonald, yang dikenal sebagai sutradara dokumenter handal, mungkin akan lebih efektif jika membuat versi dokumenter dari kisah ini.
The Mauritanian menjadi pengingat penting akan bahaya penyimpangan hukum dalam situasi darurat dan trauma nasional. Meski secara sinematik tidak sempurna, film ini tetap relevan sebagai catatan sejarah dan kritik terhadap kebijakan kontra-terorisme Amerika Serikat. (ret/hdl)