Tiongkok Batasi Impor Film Hollywood, Amerika Serikat Terancam Kehilangan Pasar Global

4 days ago 21

Surabaya (pilar.id) – Pemerintah Tiongkok resmi membatasi jumlah impor film Hollywood sebagai bentuk respons atas kebijakan tarif timbal balik yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Tiongkok. Kebijakan ini diumumkan secara resmi oleh Badan Perfilman Nasional Tiongkok pada Kamis, 10 April 2025 lalu.

Langkah tegas ini tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dipandang sebagai upaya strategis untuk mendorong kemajuan industri perfilman lokal Tiongkok. Prof. Rachmah Ida, Dra., M.Com., PhD, guru besar Departemen Komunikasi Universitas Airlangga, menyampaikan pandangannya melalui pernyataan resmi FISIP UNAIR.

Menurut Prof. Rachmah, pembatasan tersebut merupakan langkah tepat untuk mengurangi dominasi film asing dan memberikan ruang bagi film lokal berkembang. Ia menilai bahwa langkah ini akan menciptakan peluang lebih besar bagi sineas lokal untuk bersaing dan memperkuat identitas budaya nasional di tengah gempuran globalisasi.

Peluang Besar bagi Industri Film Lokal Tiongkok

“Dengan berkurangnya film Hollywood, produksi film lokal akan mendapat perhatian lebih. Ini bisa meningkatkan apresiasi penonton terhadap konten yang lebih dekat dengan kehidupan mereka—dari segi bahasa, aktor, budaya, hingga isu sosial,” ujar Prof. Rachmah.

Ia juga menyebutkan bahwa langkah ini dapat menghidupkan kembali kebanggaan nasional terhadap produk budaya sendiri. Tiongkok dianggap sedang berupaya memperluas pasar filmnya dan memperkuat daya saing industri hiburan lokal di panggung global.

Hollywood Dinilai Sebarkan Imperialisme Budaya

Prof. Rachmah menambahkan bahwa dominasi film Hollywood di berbagai platform global seperti Netflix dan Apple TV selama ini merupakan bentuk dari imperialisme budaya AS. Ia menilai bahwa kebijakan pembatasan ini merupakan perlawanan yang sah terhadap hegemoni budaya tersebut.

“Langkah Tiongkok adalah sinyal perlawanan terhadap dominasi budaya AS yang disebarluaskan lewat film. Ini adalah momen penting dalam mendobrak dominasi narasi tunggal yang selama ini dikuasai oleh Hollywood,” tegasnya.

AS Dianggap Egois dalam Diplomasi Budaya

Terkait kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS, Prof. Rachmah menyebutnya sebagai bentuk egoisme dalam diplomasi budaya. Ia menilai bahwa AS justru merugikan dirinya sendiri karena mempersempit jangkauan produksi budayanya di pasar internasional.

“Produksi film berkualitas kini tidak hanya datang dari AS. Ketidakhadiran Hollywood tidak berarti kematian industri perfilman. Justru ini akan menjadi kerugian besar bagi AS karena gagal memperluas pengaruh budaya globalnya,” jelasnya.

Prof. Rachmah juga menyinggung bahwa romantisme AS sebagai satu-satunya negara adidaya pasca Perang Dingin semakin ditinggalkan. “Banyak negara saat ini mulai muak dengan arogansi dan dominasi AS, dan mulai mencari jalan untuk mandiri secara budaya,” pungkasnya. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |