Hepatitis Masih Jadi Epidemi Sunyi, Waspadai Gejala dan Segera Lakukan Deteksi Dini

2 weeks ago 19

Jakarta (pilar.id) – Di balik wajah ceria seorang anak atau gaya hidup sehat orang dewasa, bisa tersembunyi ancaman serius bagi organ hati: hepatitis. Penyakit peradangan hati ini masih menjadi epidemi diam (silent epidemic) di Indonesia. Banyak kasus baru teridentifikasi ketika sudah berada pada tahap lanjut, dengan kerusakan hati yang tidak dapat dipulihkan.

Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan RI, sekitar 28 juta warga Indonesia diduga mengidap hepatitis B atau C, namun hanya 10 persen yang telah terdiagnosis. Kondisi ini diperburuk oleh minimnya gejala awal serta rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini.

“Kebanyakan pasien datang ketika sudah mengalami komplikasi,” ungkap dr. Ahmar Abyadh, Sp.PD-KGEH, FINASIM, Mkes, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi dari Primaya Hospital Bekasi Barat.

Penularan Tinggi, Deteksi Masih Rendah

Jenis hepatitis yang paling umum di Indonesia adalah hepatitis B, disusul hepatitis C. Penularan utama terjadi secara perinatal, yakni dari ibu ke bayi saat persalinan. Di sisi lain, penularan pada usia produktif juga tinggi akibat hubungan seksual tidak aman, transfusi darah, atau penggunaan jarum tidak steril.

Sayangnya, cakupan vaksinasi hepatitis masih belum merata di seluruh wilayah, sementara akses skrining masih terbatas terutama di daerah terpencil.

Gejala Hepatitis Sering Diabaikan

Sebagian besar penderita hepatitis tidak menyadari infeksi yang terjadi dalam tubuhnya. Berikut beberapa gejala umum hepatitis yang kerap diabaikan:

  • Kulit dan mata menguning
  • Urine gelap seperti teh
  • Tinja pucat
  • Kelelahan ekstrem
  • Nyeri di perut kanan atas
  • Mual dan muntah
  • Kehilangan nafsu makan

Pada anak-anak, gejala bisa lebih samar atau bahkan tidak muncul sama sekali, namun virus tetap berkembang dan menyebabkan kerusakan hati jangka panjang. Deteksi dini lewat tes darah sederhana sangat disarankan, terutama bagi anak dari ibu dengan riwayat hepatitis.

Segmentasi Risiko Berdasarkan Usia

  • Anak dan Remaja: Rentan hepatitis A & E akibat makanan/minuman terkontaminasi
  • Usia Produktif (20–49 tahun): Rentan hepatitis B & C akibat perilaku berisiko
  • Lansia: Rentan hepatitis akibat konsumsi obat jangka panjang dan penurunan fungsi metabolisme hati

Harapan Baru dari Dunia Medis

Kini, pengobatan hepatitis mengalami banyak kemajuan. Hepatitis A dan E bisa sembuh total, hepatitis B bisa dikontrol dengan terapi antiviral, dan hepatitis C bisa disembuhkan dengan Direct Acting Antivirals (DAA) yang memiliki tingkat keberhasilan lebih dari 95 persen.

Selain itu, inovasi seperti PCR portable, terapi individual berbasis profil virus, serta pengembangan vaksin DNA dan mRNA semakin memperbesar peluang penanganan di daerah-daerah terpencil.

Namun, tanpa kebijakan publik yang proaktif, teknologi canggih tidak akan cukup. Pemerintah diharapkan dapat:

  • Memperluas cakupan vaksinasi hepatitis B, terutama untuk bayi baru lahir
  • Menyediakan skrining gratis untuk kelompok berisiko tinggi
  • Meningkatkan edukasi masyarakat dan pelatihan tenaga kesehatan

Hepatitis bukan hanya persoalan virus. Ini adalah persoalan kesadaran masyarakat dan keberpihakan sistem kesehatan terhadap deteksi dan pencegahan.

Jangan Tunggu Kuning

“Anak-anak bisa terinfeksi hepatitis sejak bayi dan membawa virus itu seumur hidup tanpa gejala,” tegas dr. Ahmar. Saat gejala muncul, bisa jadi hati sudah rusak permanen.

Karena itu, jangan tunggu kuning. Lakukan tes, edukasi keluarga, dan jaga fungsi hati Anda. Karena fungsi hati yang sehat adalah fondasi kehidupan yang panjang dan berkualitas. (ret/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |