Pakar: Penggunaan Bahasa Jawa di Sekolah Perlu Didukung Pembelajaran Budaya Jawa Lainnya

1 month ago 32

Surabaya (pilar.id) – Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang mewajibkan penggunaan bahasa Jawa setiap hari Kamis di sekolah mendapat tanggapan positif dari akademisi. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR), Puji Karyanto SS, M.Hum, menyebut langkah ini sebagai bentuk rekayasa budaya yang perlu dukungan menyeluruh agar efektif dalam menjaga eksistensi bahasa dan budaya Jawa.

“Eksistensi sebuah kebudayaan bisa berlangsung secara alamiah atau melalui rekayasa. Yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Surabaya ini merupakan upaya rekayasa yang positif,” jelas Puji.

Bahasa Jawa dan Generasi Z

Puji menyoroti bahwa penggunaan bahasa Jawa kini makin menurun, terutama di kalangan generasi muda. “Kalau kita lihat, nilai mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah seringkali lebih rendah dibanding bahasa Inggris. Itu jadi indikator bahwa bahasa Jawa belum diterima baik dalam kehidupan sehari-hari generasi Z,” ungkapnya.

Ia menilai efektivitas kebijakan ini sangat tergantung pada kepatuhan pelaksanaannya di lapangan. Meski begitu, kebijakan ini tetap dianggap penting untuk mencegah kepunahan bahasa daerah.

“Surabaya ini bukan pusat budaya Jawa, melainkan wilayah pinggiran secara kultural. Maka, pengenalan terhadap budaya Jawa mainstream tetap sangat diperlukan,” tambahnya.

Perlu Libatkan Semua Pihak dan Inovasi Budaya

Puji juga menyoroti tantangan implementasi kebijakan ini, terutama di sekolah dengan siswa yang berasal dari latar belakang bahasa ibu yang beragam. Ia menekankan pentingnya pelibatan seluruh pihak, bukan hanya guru bahasa Jawa.

“Kalau semua pemangku kepentingan memiliki kesadaran yang sama, maka tantangan seperti perbedaan dialek — misalnya Jawa Surabaya dengan Jawa Mataraman — bisa diatasi bersama,” jelasnya.

Menurut Puji, pengajaran bahasa Jawa akan lebih bermakna jika dibarengi dengan pembelajaran budaya Jawa lainnya, seperti sastra atau kesenian tradisional.

“Belajar tembang macapat misalnya, bisa jadi media mengenalkan sastra Jawa yang puitis dan penuh nilai rasa. Ini penting agar siswa tidak hanya belajar bahasa Jawa sebagai mata pelajaran, tapi juga sebagai bagian dari kehidupan,” ujarnya.

Bahasa Jawa, lanjut Puji, sangat kaya akan nilai rasa dan sopan santun (unggah-ungguh). “Misalnya, kata ‘jatuh’ dalam bahasa Indonesia hanya satu, tapi dalam bahasa Jawa ada banyak variasi seperti gelungup, kejeglong, kejengkang, dan lainnya. Ini menunjukkan kompleksitas rasa dalam bahasa Jawa,” katanya.

Konsisten dan Berkelanjutan

Puji menegaskan bahwa kebijakan ini perlu dijalankan secara berkelanjutan dan tidak sporadis. Ia mendorong adanya evaluasi berkala dan inovasi dalam penyampaian agar lebih relevan bagi generasi muda.

“Kalau ternyata belum berhasil, perlu dicari terobosan. Sosialisasi bahasa Jawa ke generasi Z jangan hanya lewat kurikulum. Bisa juga lewat percakapan sehari-hari, konten kreatif, atau media digital,” pungkasnya. (rio/ted)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |