Pakar Sebut Deflasi Tahunan 2025 Bisa Perlambat Perekonomian Indonesia

14 hours ago 7

Surabaya (pilar.id) – Indonesia mengalami deflasi tahunan sebesar 0,09 persen pada 2025, kondisi yang belum terjadi dalam lebih dari dua dekade. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa faktor utama penyebabnya adalah diskon tarif listrik dan penurunan harga sejumlah komoditas pangan, seperti beras, tomat, dan cabai merah.

Menurut Prof. Dr. Sri Herianingrum, SE, MSi, pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (UNAIR), deflasi ini menandakan potensi perlambatan ekonomi.

“Berdasarkan data BPS, deflasi bulanan pada Januari 2025 mencapai 0,76 persen, sementara Februari 2025 tercatat 0,48 persen. Data Maret masih menunggu rilis pada April, terutama karena dampak Ramadan yang biasanya memicu inflasi,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, inflasi saat Ramadan 2023 tercatat 0,16 persen, sementara pada 2024 meningkat menjadi 0,52 persen.

Stok Berlebih dan Daya Beli Melemah

Prof. Sri mengungkapkan bahwa saat ini terjadi oversupply pada sejumlah komoditas primer, seperti minyak goreng dan telur. Stok yang berlebih dan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan harga turun drastis.

“Misalnya, harga telur yang sempat melonjak hingga Rp 29.000 per kilogram pada Desember 2024, kini turun sekitar 30 persen setelah tahun baru. Penurunan daya beli terlihat jelas di pasar tradisional, yang biasanya ramai menjelang buka puasa, tetapi kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Dampak Deflasi: Risiko Ekonomi Meningkat

Deflasi dalam jangka panjang dapat menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa, yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika daya beli terus melemah, maka transaksi ekonomi berkurang, produsen kesulitan menjual produk, dan dapat terjadi pengurangan produksi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Jika tren ini berlanjut, deflasi bisa menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis,” tambahnya.

Kebijakan Pemerintah: Solusi untuk Pemulihan Ekonomi

Untuk mengatasi dampak deflasi, Prof. Sri menekankan perlunya kebijakan moneter dan fiskal yang tepat.

  • Dari sisi moneter, pemerintah dapat meningkatkan jumlah uang beredar, misalnya dengan menurunkan suku bunga agar sektor riil kembali bergerak.
  • Dari sisi fiskal, fokus utama harus pada peningkatan daya beli masyarakat dan dukungan terhadap UMKM. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa investasi yang dilakukan berdampak langsung pada pemulihan ekonomi, bukan malah membebani anggaran negara.

Selain itu, faktor ketidakpastian pasca-pemilu turut memengaruhi perilaku belanja masyarakat. Banyak yang memilih untuk menahan pengeluaran karena masih menunggu kepastian kondisi ekonomi.

“Oleh karena itu, stimulus ekonomi yang lebih intensif diperlukan agar roda perekonomian kembali bergerak dan kepercayaan masyarakat terhadap pasar dapat pulih,” pungkasnya.

Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, diharapkan Indonesia dapat keluar dari tekanan deflasi dan kembali menuju pertumbuhan ekonomi yang stabil di tahun 2025. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |