Jakarta (pilar.id) – Wacana pembentukan koalisi permanen dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto semakin ramai diperbincangkan. Rencana ini memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat, termasuk dari kalangan akademisi.
Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR), Hari Fitrianto, S.IP., M.IP., menilai bahwa secara teori, koalisi permanen memang dapat dilakukan oleh presiden dan partai politik pengusung. Namun, dalam praktiknya, hal ini sulit terwujud di Indonesia.
“Tidak ada salahnya jika presiden atau partai merencanakan koalisi permanen. Tetapi dalam ekosistem politik elektoral Indonesia, hal ini sulit terealisasi karena corak politik kita lebih bersifat pragmatis,” jelasnya.
Tantangan Perbedaan Ideologi
Menurut Hari, perbedaan ideologi antarpartai menjadi tantangan utama dalam membentuk koalisi jangka panjang.
“Koalisi permanen bisa terjadi jika partai-partai memiliki platform ideologi yang serupa. Namun, di Indonesia, ideologi partai politik cenderung tidak jelas atau berbeda-beda, sehingga menyulitkan pembentukan koalisi jangka panjang,” imbuhnya.
Selain itu, dinamika politik yang cepat berubah membuat koalisi antarpartai lebih bersifat pragmatis dan fleksibel tergantung kepentingan masing-masing.
Manfaat Ekonomi bagi Partai Politik
Salah satu alasan utama partai politik bergabung dalam koalisi pascapemilu adalah kepentingan ekonomi. Hari menegaskan bahwa partai politik di Indonesia memiliki ketergantungan finansial pada kekuasaan.
“Sudah menjadi sifat alami partai politik di Indonesia untuk segera merapat ke kekuasaan setelah pemilu usai. Mereka akan mengatur ulang strategi, dari yang sebelumnya menjadi oposisi, lalu berubah menjadi bagian dari koalisi,” ujarnya.
Hari juga menyoroti lemahnya pendanaan partai politik, yang membuat mereka bergantung pada sumber daya ekonomi dari kader-kader yang berada di dalam pemerintahan.
“Tidak ada partai yang sepenuhnya didanai oleh iuran anggota. Sebagian besar keuangan partai berasal dari bagaimana kader-kadernya mengakses sumber daya ekonomi saat berada dalam kekuasaan,” tambahnya.
Dukungan Kuat untuk Stabilitas Pemerintahan
Meski sulit terwujud dalam jangka panjang, Hari menilai bahwa koalisi permanen bisa terjadi selama pemerintahan Prabowo Subianto. Dalam sistem presidensial, dukungan kuat di parlemen sangat dibutuhkan agar kebijakan presiden dapat berjalan efektif.
“Agar kebijakan presiden dapat berjalan lancar di parlemen, terutama jika ada kebijakan baru yang mengakomodasi visi dan misi presiden terpilih, maka koalisi yang solid memang diperlukan,” jelasnya.
Namun, Hari juga menekankan bahwa koalisi permanen kemungkinan hanya bertahan selama satu atau dua periode kepemimpinan Prabowo.
“Kalau koalisi ini bertahan lebih lama, bahkan setelah Prabowo melewati dua periode, saya rasa itu sulit dibayangkan,” pungkasnya. (hdl)