Proyek DME Pengganti LPG di Indonesia, Ini Analisis Akademisi Soal Tantangan dan Peluang

8 hours ago 2

Surabaya (pilar.id) – Pemerintah Indonesia terus mengembangkan proyek gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai alternatif pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Proyek ini dilakukan tanpa melibatkan investasi asing dan bertujuan mengurangi ketergantungan impor LPG sekaligus memperkuat hilirisasi energi nasional.

Saat ini, Indonesia mengimpor sekitar 70 persen dari total kebutuhan LPG nasional, yaitu sekitar 7 juta ton per tahun.

Dengan ketersediaan batubara yang melimpah, DME diproyeksikan menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan ketahanan energi.

DME sebagai Langkah Strategis

Menurut Wahid Dianbudiyanto, S.T., M.Sc., dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (UNAIR), hilirisasi batubara menjadi DME merupakan langkah strategis.

“Dengan memanfaatkan sumber daya batubara yang berlimpah, Indonesia dapat memperkuat ketahanan energi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan akibat impor LPG yang besar,” ujarnya.

Meski menjanjikan, proyek DME menghadapi sejumlah tantangan. Teknologi gasifikasi batubara memerlukan biaya tinggi dan proses yang kompleks, sehingga membutuhkan investasi besar.

Selain itu, infrastruktur distribusi DME tidak bisa menggunakan sistem yang ada saat ini karena densitas energinya lebih rendah dibandingkan LPG.

Wahid menjelaskan, untuk menggantikan sekitar 3 juta ton LPG per tahun, diperlukan setidaknya 4–5 pabrik gasifikasi berskala besar.

“Karakteristik fisik DME berbeda dari LPG, sehingga diperlukan penyesuaian dalam sistem penyimpanan dan transportasi agar bahan bakar ini dapat digunakan secara optimal,” jelasnya.

Dampak Lingkungan

Meskipun DME lebih ramah lingkungan saat digunakan, proses gasifikasi batubara sebagai bahan bakunya tetap berkontribusi pada peningkatan emisi karbon. Wahid menekankan pentingnya pengelolaan emisi untuk mengendalikan dampak lingkungan.

“Gasifikasi batubara memang berpotensi meningkatkan emisi karbon. Namun, dampak ini dapat dikurangi dengan penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau dengan mencampurkan biomassa sebagai bahan baku alternatif. Langkah-langkah ini dapat membantu menekan jejak karbon dan menjadikan DME sebagai opsi energi yang lebih berkelanjutan,” paparnya.

Pendanaan dan Regulasi

Pemerintah memutuskan untuk membiayai proyek ini secara mandiri melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) serta melibatkan BUMN. Namun, penggunaan teknologi asing masih menjadi tantangan karena dapat meningkatkan biaya produksi.

Wahid menyarankan, pemerintah perlu menetapkan harga patokan DME agar tetap menarik bagi produsen dan konsumen.

“Pemerintah juga perlu menyediakan insentif fiskal seperti tax holiday atau pembebasan bea masuk untuk menekan beban produksi dan distribusi,” tambahnya. (ret/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |