Surabaya (pilar.id) – Fenomena kekerasan seksual yang melibatkan figur publik kembali mencuat di masyarakat. Ironisnya, pelaku justru kerap berasal dari kalangan yang selama ini dianggap sebagai panutan – mereka yang berpendidikan tinggi dan memiliki posisi terhormat.
Hal ini disoroti oleh Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dra Myrtati Dyah Artaria MA PhD.
“Jika pelaku kekerasan seksual adalah figur panutan, kami tidak heran. Itu memang kecenderungan yang sering kami temui,” ujar Prof Myrta, sapaan akrab dosen antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR.
Penyalahgunaan Kekuasaan dan Karisma
Prof Myrta menegaskan bahwa daya tarik dari seorang figur publik—baik karena karisma, pesona, maupun posisi sosial—dapat membuka celah terjadinya kekerasan seksual.
“Kekaguman dan kedekatan bisa saja membuat seseorang lengah. Dan jika pelaku tidak mampu mengendalikan diri, maka penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat mungkin terjadi,” tambahnya.
Menurut Prof Myrta, posisi tinggi dalam masyarakat membuat seseorang lebih leluasa, dan bila tak dibarengi etika serta pendidikan karakter yang kuat, kekuasaan tersebut bisa disalahgunakan.
Ia juga menyoroti bahwa kekerasan seksual biasanya terjadi akibat kombinasi dari budaya patriarki, ketimpangan gender, lemahnya pengawasan, serta potensi trauma masa lalu pada pelaku maupun korban.
“Sering kali pelaku menyasar korban yang punya riwayat trauma, karena secara emosional lebih mudah dimanipulasi,” jelasnya.
Ketakutan Korban dan Efek Viral
Lebih jauh, Prof Myrta mengungkapkan bahwa korban kerap merasa takut untuk melapor, terlebih jika pelaku adalah sosok yang dihormati atau dikenal menjaga citra publik. Ketergantungan secara ekonomi, akademik, bahkan sosial terhadap pelaku juga membuat korban gentar.
“Takut dicap memfitnah, diserang balik, atau mengalami stigma seperti dianggap mengundang atau tidak suci, itu beban yang sangat berat bagi korban,” ujarnya.
Mengenai viralnya sejumlah kasus kekerasan seksual di media sosial, Prof Myrta menilai hal tersebut tidak selalu efektif. “Tekanan publik bisa mempercepat respons aparat, tapi korban juga berisiko mengalami tekanan mental lebih besar, termasuk ancaman dari buzzer atau netizen,” tegasnya.
Peran Kolektif dalam Pencegahan
Sebagai penutup, Prof Myrta mengajak masyarakat untuk membangun budaya saling menghargai dan menghormati hak asasi manusia, dengan menanamkan pendidikan karakter sejak dini.
Ia juga mengapresiasi langkah proaktif institusinya melalui Satgas PPKPT UNAIR yang menyediakan layanan, pendampingan, serta kebijakan perlindungan bagi korban.
“Yang paling penting adalah keberanian korban untuk bicara, dan kepekaan publik dalam memberi dukungan yang aman tanpa menyudutkan,” pungkasnya. (ret/hdl)