Jakarta (ANTARA) - Catcalling mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang. Namun, bagi banyak perempuan, pengalaman ini sangat tidak menyenangkan dan bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam.
Bentuk pelecehan seksual secara verbal ini sering terjadi di tempat umum, mulai dari jalanan hingga transportasi publik. Meski kerap dianggap biasa, dampaknya nyata dan perlu mendapat perhatian serius.
Apa itu catcalling?
Catcalling adalah tindakan pelecehan seksual secara verbal atau non-verbal yang biasanya terjadi di ruang publik. Contohnya seperti siulan, teriakan seperti "cantik banget", komentar soal tubuh, atau tatapan yang membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Meskipun kebanyakan korbannya adalah perempuan, siapa pun sebenarnya bisa mengalaminya. Catcalling tidak mengenal usia, jenis kelamin, maupun latar belakang, dan dampaknya bisa mempengaruhi rasa aman seseorang di ruang publik.
Bentuk-bentuk catcalling yang sering terjadi
Beberapa bentuk catcalling yang umum dijumpai antara lain:
• Siulan atau panggilan seperti “psst” atau “hai manis”
• Komentar yang mengandung muatan seksual
• Mengikuti seseorang tanpa izin
• Tatapan tajam yang bernuansa seksual
Meski terdengar ringan, hal ini bisa membuat korban merasa terancam dan tidak aman.
Kenapa catcalling masih sering terjadi?
Sayangnya, catcalling sering dianggap sebagai candaan atau pujian. Ini dipengaruhi oleh budaya yang membenarkan dominasi laki-laki dan minimnya edukasi tentang pelecehan seksual. Banyak orang belum sadar bahwa komentar bernada seksual tanpa persetujuan adalah bentuk kekerasan verbal yang melanggar batas pribadi seseorang.
Dampak nyata bagi korban
Catcalling bukan hanya membuat tidak nyaman, tapi juga bisa berdampak serius pada psikologis korban. Banyak yang merasa cemas, takut, marah, bahkan kehilangan rasa aman. Beberapa orang sampai enggan keluar rumah sendiri atau memilih rute berbeda hanya untuk menghindari pengalaman serupa.
Apa kata hukum?
Di Indonesia, catcalling termasuk pelecehan seksual verbal dan diatur dalam Undang‑Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pelakunya bisa dikenai hukuman pidana atau denda. Di lingkungan pendidikan, perilaku ini juga dikategorikan sebagai pelanggaran serius yang harus dicegah.
Bagaimana menghadapinya?
Langkah pertama adalah menyadari bahwa catcalling bukan pujian. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa tindakan ini tidak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Jika kamu jadi korban, jangan ragu untuk melapor ke pihak berwajib atau meminta bantuan orang sekitar.
Edukasi sejak dini, baik di sekolah maupun lingkungan keluarga, juga penting untuk menghapus budaya pelecehan ini. Masyarakat harus didorong untuk menciptakan ruang publik yang aman bagi semua, tanpa pandang gender.
Dengan demikian, catcalling bukan sekadar masalah sopan santun, melainkan bentuk pelecehan yang nyata dan berdampak serius pada korban. Tindakan ini tidak bisa dianggap remeh karena menyangkut rasa aman dan martabat seseorang di ruang publik.
Untuk itu, mari bersama menolak dan melawan tindakan ini, bukan hanya demi perempuan, tetapi demi terciptanya ruang publik yang aman, nyaman, dan setara bagi siapa pun tanpa terkecuali.
Baca juga: Mengenal Aviana Malik, host debat Pilkada yang berani lawan pelecehan
Baca juga: Polisi agendakan klarifikasi korban "catcalling" Gili Trawangan
Baca juga: Sandiaga: "Catcalling" terhadap wisatawan cemari citra pariwisata
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.