Jakarta (pilar.id) – Nilai tukar rupiah kembali tertekan tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Sabtu (30/8), kurs rupiah tercatat menembus Rp16.490 per 1 dolar AS, level terlemah dalam beberapa bulan terakhir.
Pelemahan rupiah ini memicu kekhawatiran tidak hanya di kalangan pelaku pasar keuangan, tetapi juga masyarakat umum yang mulai merasakan dampak kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.
Faktor Non-Ekonomi Jadi Pemicu
Menurut pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamudin Yuliadi, S.E., M.Si., anjloknya rupiah kali ini tidak hanya dipicu oleh faktor fundamental ekonomi, tetapi juga dipengaruhi kondisi politik dan keamanan dalam negeri.
“Nilai tukar rupiah dipengaruhi faktor ekonomi dan non-ekonomi. Aksi demo kepada DPR menambah tekanan pada rupiah hingga menyentuh Rp16.300-an karena muncul sentimen negatif di pasar uang. Saat situasi politik tidak stabil, banyak demo, bahkan berpotensi krisis politik, para spekulan cenderung melepas rupiah dan beralih ke dolar,” jelas Prof. Imam, dikutip dari laman UMY, Sabtu (30/8).
Sentimen negatif ini, menurutnya, membuat investor asing lebih berhati-hati. Banyak yang memilih mengalihkan asetnya ke instrumen dolar yang dinilai lebih aman.
Risiko Capital Outflow
Prof. Imam mengingatkan bahwa ketidakstabilan politik berpotensi memicu capital outflow atau keluarnya modal asing dari pasar keuangan Indonesia. Investor portofolio, yang umumnya sangat sensitif terhadap kondisi politik, bisa lebih cepat menarik dananya ketika ketidakpastian meningkat.
Jika arus keluar modal asing ini berlangsung terus-menerus, cadangan devisa Indonesia bisa tertekan, dan Bank Indonesia akan memiliki ruang intervensi yang lebih terbatas untuk menstabilkan kurs.
Dampak Langsung ke Masyarakat
Pelemahan rupiah yang signifikan juga memberi tekanan pada sektor riil. Harga barang impor naik, termasuk bahan baku industri, sehingga menimbulkan efek domino pada pelaku usaha kecil hingga menengah.
“Kalau rupiah melemah dan tidak ada langkah cepat menstabilkan, harga barang impor pasti naik. Padahal kebutuhan sehari-hari kita, seperti kedelai untuk tahu-tempe, masih bergantung pada impor. Kalau dolarnya naik, bahan bakunya jadi mahal, otomatis harga produk ikut naik. Ini memberatkan masyarakat dan mengancam UMKM di tengah daya beli yang menurun,” papar Prof. Imam.
Kondisi ini semakin mempertegas kerentanan ekonomi domestik terhadap fluktuasi kurs, terutama ketika ketergantungan pada impor masih tinggi.
Peran Bank Indonesia dan Pemerintah
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) memiliki tugas menjaga stabilitas nilai tukar. Namun, Prof. Imam menilai kebijakan moneter saja tidak cukup.
“Bank Indonesia memang wajib menjaga stabilitas eksternal. Tetapi karena sumber pelemahan rupiah berasal dari faktor politik dan keamanan, penyelesaiannya juga harus menyentuh ranah tersebut,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah komprehensif, mulai dari komunikasi publik yang menenangkan pasar, pendekatan persuasif terhadap kelompok masyarakat, hingga penanganan demonstrasi dengan cara yang terukur agar tidak memperburuk sentimen.
Ancaman Pelemahan Lebih Dalam
Prof. Imam mengingatkan, jika ketidakstabilan politik terus berlanjut tanpa solusi yang tepat, rupiah bisa terpuruk lebih dalam.
“Strategi penyelesaian masalah demo harus dilakukan secara komprehensif: tidak hanya lewat kebijakan ekonomi, tetapi juga stabilisasi politik dan keamanan,” tegasnya.
Pelemahan rupiah ke level Rp16.490 per dolar AS menjadi alarm keras bagi pemerintah dan pelaku pasar. Dengan kombinasi faktor global dan domestik, terutama ketidakpastian politik, langkah antisipasi lintas sektor menjadi krusial.
Dalam jangka pendek, BI kemungkinan tetap akan melakukan intervensi di pasar valas untuk menahan volatilitas berlebih. Namun, untuk jangka panjang, stabilitas kurs hanya bisa tercapai apabila situasi politik nasional terjaga, reformasi struktural berlanjut, dan ketergantungan pada impor berkurang. (ret/hdl)