Banda Aceh (pilar.id) – Masjid Raya Baiturrahman adalah salah satu landmark bersejarah di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. Dibangun pada tahun 1879, masjid ini menjadi simbol agama, budaya, dan perjuangan rakyat Aceh sejak masa Kesultanan Aceh.
Keindahan arsitektur dan keteguhan bangunannya menjadikannya ikon Banda Aceh yang bertahan dari berbagai peristiwa sejarah, termasuk gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Sejarah Masjid Raya Baiturrahman bermula dari pembangunan awal pada tahun 1612 di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Namun, beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa masjid ini sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1292 atas prakarsa Sultan Alaidin Mahmudsyah. Pada masa itu, masjid ini berfungsi sebagai masjid kerajaan, dengan arsitektur khas Aceh berupa atap jerami berlapis-lapis.
Dibakar Saat Perang Melawan Belanda
Saat Kolonial Hindia Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada 10 April 1873, masyarakat Aceh menggunakan masjid sebagai benteng pertempuran.
Pasukan Belanda membalas dengan menembakkan suar ke atap jerami masjid, menyebabkan bangunan ini terbakar habis.
Setelah kejadian ini, ibadah dipindahkan ke Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. Sebagai bagian dari strategi untuk meredam kemarahan rakyat Aceh, Jenderal Van Swieten berjanji kepada pemimpin lokal untuk membangun kembali masjid sebagai bentuk permintaan maaf.
Pembangunan Kembali oleh Belanda
Pada 9 Oktober 1879, Belanda mulai membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Jenderal Van Der Heyden dan Tengku Qadhi Malikul Adil meletakkan batu pertama pembangunan, yang selesai pada 27 Desember 1881, saat pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah, sultan terakhir Kesultanan Aceh.
Namun, awalnya banyak masyarakat Aceh yang enggan beribadah di masjid baru ini karena dibangun oleh Belanda, musuh mereka saat perang. Seiring waktu, masjid ini justru menjadi kebanggaan masyarakat Banda Aceh dan menjadi pusat keislaman di daerah tersebut.
Pada awalnya, Masjid Raya Baiturrahman hanya memiliki satu kubah dan satu menara. Namun, seiring waktu, masjid ini mengalami beberapa renovasi besar. Tahun 1935, 1957, dan 1982, penambahan kubah dan menara baru.
Tahun 1957, jumlah kubah bertambah menjadi lima sebagai simbol Pancasila di Aceh. Saat ini, masjid memiliki tujuh kubah dan delapan menara, menjadikannya masjid dengan menara tertinggi di Banda Aceh.
Bertahan dari Tsunami 2004
Ketangguhan Masjid Raya Baiturrahman semakin terbukti saat tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Masjid ini tetap berdiri kokoh, hanya mengalami keretakan kecil pada beberapa dinding dan menara.
Selama bencana, masjid ini menjadi tempat perlindungan bagi warga yang selamat, sebelum akhirnya dibuka kembali untuk ibadah setelah dua minggu pasca-tsunami.
Wisata Religi Banda Aceh
Banda Aceh, yang juga dikenal sebagai Serambi Mekkah, memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang luar biasa. Selain Masjid Raya Baiturrahman, tempat ini juga dikenal karena Museum Tsunami Aceh dan Museum Rumoh Aceh.
Museum Tsunami Aceh merupakan bangunan monumental yang dibangun untuk mengenang tragedi tsunami 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 230 ribu jiwa di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dirancang oleh Ridwan Kamil, arsitek asal Bandung, museum ini memiliki luas 2.500 m² dan terdiri dari empat lantai dengan desain arsitektur unik yang penuh makna.
Museum Tsunami Aceh memiliki elemen unik yang difungsikan sebagai pengingat. Diantaranya Lorong Gelap dan Dinding Air yang menggambarkan kepanikan saat tsunami menerjang.
Lalu Relief Geometris dan Tari Saman, melambangkan kekuatan, kedisiplinan, dan spiritualitas masyarakat Aceh. Atap Bergelombang, terinspirasi dari bentuk ombak laut. Kemudian Lantai Dasar Mirip Rumah Panggung yang terinspirasi dari rumah adat Aceh yang tahan tsunami.
Museum ini juga menjadi pusat edukasi dan tempat perlindungan darurat jika bencana serupa terjadi kembali. Nama-nama korban dicantumkan di salah satu ruangan terdalam sebagai bentuk penghormatan.
Sementara Museum Rumoh Aceh didirikan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banda Aceh pada tahun 1915. Uniknya, bangunan ini pertama kali dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda di Semarang pada tahun 1914, sebelum akhirnya dipindahkan ke Aceh.
Museum Rumoh Aceh memiliki keunikan antara lain tinggi pintu 120-150 cm. Sehingga setiap tamu harus menunduk saat masuk, melambangkan rasa hormat kepada tuan rumah, tanpa memandang status sosial.
Lalu Tiga Ruangan Utama, Seuramoë Keuë (Serambi Depan), Berisi pajangan dan peralatan seni musik. Kedua Seuramoë Teungoh (Serambi Tengah) yang memajang lukisan para pahlawan Aceh. Dan ketiga, Seuramoë Likôt (Serambi Belakang), Berisi peralatan dapur tradisional Aceh.
Museum ini menjadi tempat terbaik untuk memahami kehidupan masyarakat Aceh di masa lampau, baik dari segi budaya, arsitektur, maupun nilai-nilai sosialnya.
Banda Aceh menawarkan wisata sejarah dan religi yang begitu kaya. Masjid Raya Baiturrahman menggambarkan kejayaan Islam di Aceh, Museum Tsunami menjadi saksi ketahanan masyarakat terhadap bencana, dan Museum Rumoh Aceh merefleksikan warisan budaya yang masih terjaga.
Bagi wisatawan yang ingin menyelami keindahan dan sejarah Aceh, ketiga tempat ini wajib masuk dalam daftar kunjungan. (ret/hdl)