Webinar Universitas Paramadina Kupas Pseudo-Spiritualitas dan Budaya Korupsi di Negara Religius

3 hours ago 2

Jakarta (pilar.id) – The Lead Institute Universitas Paramadina menggelar webinar bertajuk Pseudo-Spiritualitas, Religius Tapi Gemar Korupsi, bagian dari Program Ramadan 2025: Spiritualitas di Era Digital.

Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Media Zainul Bahri (Guru Besar Pemikiran Islam UIN Jakarta) dan Dida Darul Ulum, M.A (Peneliti Megawati Institute), dengan Maya Fransiska, S.Ag (Peneliti The Lead Institute) sebagai moderator. Webinar berlangsung secara daring.

Ketua The Lead Institute, Dr. phil. Suratno Muchoeri, membuka diskusi dengan mengkritisi hipokrisi dalam masyarakat Indonesia, sebagaimana dijelaskan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977).

Menurut Dr. Suratno, hipokrisi ini berakar pada dua faktor utama. Pertama, feodalisme, yang melahirkan mentalitas asal bapak senang. Kedua pemisahan agama dari etika, di mana agama lebih menjadi simbol daripada pedoman moral.

“Ini ironi besar. Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim yang memahami bahwa Islam diturunkan untuk menyempurnakan akhlak, tetapi korupsi masih merajalela,” tegasnya.

Ia juga menyoroti kemunafikan dalam Islam, yaitu: berbicara bohong, mengingkari janji, dan berkhianat dalam amanah. Namun, meskipun ajaran Islam menekankan nilai-nilai moral, mengapa praktik korupsi tetap langgeng?

Islam Pop, Kapitalisme, dan Hedonisme

Prof. Dr. Media Zainul Bahri menjelaskan bahwa religiusitas masyarakat Indonesia tidak selalu berbanding lurus dengan integritas moral.

“Budaya permisif dan guyub yang ada dalam masyarakat kita, meskipun positif, justru bisa menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti fenomena Islam Pop, yang muncul sejak era 70-an dan semakin berkembang dalam arus kapitalisme dan hedonisme. Agama lebih sering dijadikan identitas simbolik ketimbang pedoman moral.

“Kita melihat politisi dan pejabat memahami Islam secara mendalam, tetapi tetap terjerat korupsi. Ini karena keberagamaan lebih dipahami sebagai tampilan luar, bukan substansi,” tambahnya.

Negara Religius dalam Kubangan Korupsi

Dida Darul Ulum, M.A membandingkan kondisi Indonesia dengan Gotham City dalam trilogi The Dark Knight karya Christopher Nolan.

Ia mengutip laporan majalah CEOWORLD (8 April 2024) yang menempatkan Indonesia di peringkat ketujuh negara paling religius di dunia. Namun, ironi terjadi karena indeks persepsi korupsi Indonesia tetap tinggi.

Dida menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara religion (agama sebagai keyakinan) dan religiosity (keberagamaan dalam perilaku) menjadi kunci.

“Percaya kepada Tuhan saja tidak cukup. Keberagamaan sejati adalah menjalankan ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.

Ia memetakan tiga faktor utama penyebab korupsi tetap subur di Indonesia:

  1. Struktur pemerintahan yang koruptif
  2. Budaya yang permisif terhadap korupsi
  3. Sikap apatis masyarakat yang menganggap korupsi sebagai hal lumrah

Agama Hanya Ritual, Bukan Landasan Moral

Menurut Dida, kelemahan terbesar dalam pendekatan keberagamaan di Indonesia adalah agama lebih sering dipahami sebatas ritual, bukan sebagai etika sosial.

“Ritus keagamaan penting, tetapi tanpa dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, maknanya hilang,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pesan utama agama adalah membangun akhlak dan etika sosial, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”

“Kesalehan personal harus ditransformasikan ke kesalehan sosial. Kita perlu pemimpin dan tokoh agama yang benar-benar bisa diteladani,” tambahnya.

Transformasi Kesalehan Personal ke Kesalehan Sosial

Para pembicara sepakat bahwa pemahaman agama harus bergeser dari sekadar ritual menuju praktik nyata dalam kehidupan sosial.

Diperlukan perubahan pada berbagai aspek, seperti keteladanan pemimpin dan tokoh agama, transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, dan  pendidikan yang menekankan pembangunan karakter dan moral.

Dida menutup diskusi dengan menyebut tokoh-tokoh Islam seperti Gus Dur, Prof. Mukti Ali, Nurcholish Madjid, dan Syafi’i Ma’arif sebagai contoh pemimpin yang mengedepankan integritas dan moralitas.

“Kesederhanaan bukan sekadar gimmick. Kita butuh pemimpin yang benar-benar bisa menjadi panutan,” pungkasnya.

Webinar ini menjadi refleksi penting bagi masyarakat Indonesia dalam memahami peran agama sebagai bukan hanya simbol, tetapi juga landasan moral dalam membangun bangsa yang bersih dari korupsi. (mad/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |