Masjid Agung Manonjaya: Jelang Usia Dua Abad, Berdiri Kokoh dengan Arsitektur Jawa dan Neo-klasik Eropa

5 hours ago 2

Tasikmalaya (pilar.id) – Masjid Agung Manonjaya di Kabupaten Tasikmalaya merupakan peninggalan bersejarah dari masa pemerintahan Nagara Sukapura (1632-1901 M). Masjid ini menjadi saksi berkembangnya Islam di Priangan Timur, Jawa Barat.

Peran besar dalam penyebaran Islam di wilayah ini dipegang oleh Syekh Abdul Muhyi, seorang ulama dari Pamijahan yang menjadi guru bagi para bupati serta keluarga mereka. Syekh Abdul Muhyi juga meletakkan batu pertama pembangunan masjid ini ketika masih berbentuk mushala.

Transformasi mushala menjadi masjid dilakukan pada masa pemerintahan Bupati Sukapura ke-VIII, Kangjeng Dalem Wiradadaha (1814-1837 M).

Masjid ini kemudian menjadi masjid nagara yang berfungsi sebagai pusat keislaman dan pemerintahan di Kabupaten Sukapura, yang saat itu beribukota di Manonjaya. Berdasarkan artefak seperti atap tumpang tiga, tiang saka guru, dan mustaka masjid, bangunan ini diperkirakan seangkatan dengan masjid-masjid bersejarah lainnya di Indonesia.

Pusat Pemerintahan dan Perdagangan

Masjid Agung Manonjaya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kabupaten Sukapura, yang kemudian berganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun 1832 M, di bawah pemerintahan Kangjeng Dalem Wiradadaha VIII dan dikomandani oleh Patih Raden Wiratanuwangsa (Raden Tumenggung Danuningrat), masjid mulai dibangun.

Pembangunan ini selesai pada 1834 M, bersamaan dengan pembangunan infrastruktur pemerintahan Kabupaten Sukapura di Pasir Panjang. Setahun kemudian, tepatnya pada 1835 M, pusat pemerintahan resmi dipindahkan ke Harjawinangun, yang kini dikenal sebagai Manonjaya.

Masjid ini memiliki peran penting dalam perencanaan tata kota Manonjaya. Menurut catatan dalam buku Anak Soenda Parahyangan karya Raden Memed Sastra Hadiprawira (1931), sebelum pemindahan ibu kota, sudah ada sebuah masjid kecil di Harjawinangun yang kemudian menjadi pedoman dalam perencanaan tata ruang kota.

Seiring berkembangnya Kota Manonjaya, kawasan di sekitar masjid menjadi pusat perdagangan di Priangan Timur. Letaknya yang strategis di jalur penghubung Jawa Tengah dan Jawa Barat membuatnya menjadi tempat persinggahan pedagang dari berbagai daerah.

Hingga kini, Masjid Agung Manonjaya masih berfungsi sebagai tempat istirahat bagi para pendatang yang hendak berziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan.

Perluasan dan Renovasi Masjid

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan jamaah, Masjid Agung Manonjaya diperluas pada 1837 M dengan bergeser ke alun-alun yang berada di halaman masjid. Bangunan baru memiliki atap tumpang tiga dengan mustaka di puncaknya serta empat tiang utama sebagai penyangga. Ruang utama masjid diperluas hingga mencapai 637 meter persegi dengan tambahan tempat salat khusus untuk wanita.

Renovasi besar kembali dilakukan pada 10 September 1889 oleh Bupati Sukapura ke-XII, Raden Tumenggung Wirahadiningrat. Masjid diperluas ke bagian timur dengan tambahan koridor, menara di kedua sisi, serta teras masjid.

Serambi masjid dibuat dengan atap tumpang dua berbentuk segi delapan, dan bangunan Balai Nikah juga ditambahkan. Renovasi ini juga melibatkan seorang tokoh masyarakat bernama Mbah Jalari, yang makamnya berada di Kampung Manggung, Desa Gunung Tanjung.

Setelah beberapa dekade, masjid mengalami perbaikan besar pada tahun 1974 dan 1977 akibat kerusakan struktural dan dampak gempa bumi.

Renovasi ini dilakukan dengan dana swadaya masyarakat dan dukungan pemerintah. Pada tahun 1992, pemugaran dilakukan oleh Proyek Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Barat dengan dana sebesar Rp 270.000.000. Peresmian pemugaran dilakukan oleh Bupati Tasikmalaya dan Kepala Kantor Wilayah Depdikbud Jawa Barat.

Renovasi Pasca Gempa 2009

Pada tahun 2010, Masjid Agung Manonjaya mengalami renovasi total akibat kerusakan parah setelah gempa bumi yang terjadi pada 2 September 2009. Selain dampak gempa, konstruksi kayu masjid yang sudah berusia ratusan tahun juga mulai rapuh.

Renovasi ini dilakukan berdasarkan hasil studi teknis arkeologi dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya turut serta dalam proses perbaikan dengan mengajukan proposal pembangunan kembali masjid kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada 7 September 2009.

Masjid Agung Manonjaya merupakan salah satu peninggalan bersejarah di Kabupaten Tasikmalaya yang masih mempertahankan keaslian arsitekturnya. Dengan luas bangunan mencapai 821,30 m² dan berdiri di atas lahan seluas 6.158 m², masjid ini telah mengalami berbagai renovasi namun tetap menjaga bentuk aslinya.

Arsitektur Khas dengan Atap Tumpang Tiga

Salah satu ciri khas Masjid Agung Manonjaya adalah atapnya yang bertingkat tiga dengan puncak berbentuk kerucut, dilengkapi mustaka dari bahan perunggu. Ventilasi dari kayu dan kaca yang terletak di antara setiap tingkatan atap berfungsi untuk sirkulasi udara dan pencahayaan alami.

Atap tumpang ini menyerupai gaya arsitektur masjid-masjid kuno di Priangan, seperti di Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Garut. Berbeda dengan masjid di Jawa Tengah yang cenderung menggunakan atap berbentuk limasan, atap Masjid Agung Manonjaya lebih mirip dengan “Bale Nyungcung,” yang pernah digunakan di Masjid Agung Bandung pada abad ke-19.

Masjid ini memiliki dua menara kembar yang dibangun pada tahun 1889, terletak di ujung kanan dan kiri bangunan teras. Struktur menara ini berbeda dengan masjid kuno lainnya yang biasanya hanya memiliki satu menara.

Menara ini memiliki dua lantai dengan tinggi 4,2 meter dan diameter 4,5 meter. Terdapat tangga kayu yang masih asli sebagai akses antar lantai. Uniknya, mustaka pada puncak menara awalnya terbuat dari tanah liat dan besi, namun telah diganti pada renovasi tahun 1997.

Di dalam masjid, terdapat 10 tiang saka guru yang menopang ruang utama. Berbeda dengan masjid tradisional lainnya yang hanya memiliki empat tiang, tiang di Masjid Agung Manonjaya dibuat dari bata berbentuk segi delapan dengan bagian atas segi empat.

Elemen khas lainnya adalah adanya pawestren (ruang shalat wanita) di sisi selatan serta serambi berbentuk huruf “U” yang mengelilingi bagian samping dan depan masjid. Serambi ini ditopang oleh 19 tiang berbentuk bulat, dengan beberapa tiang asli masih terjaga keasliannya.

Lantai masjid menggunakan tegel berwarna merah dengan ukuran 30 cm x 30 cm, hasil renovasi tahun 1992. Sementara itu, ruang koridor di bagian timur menghubungkan bangunan utama dengan teras, memberikan akses terbuka tanpa dinding pembatas.

Warisan Sejarah yang Terjaga

Masjid Agung Manonjaya telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kombinasi gaya tradisional dan neo-klasik Eropa, masjid ini menjadi salah satu ikon arsitektur Islam yang langka di wilayah Priangan Timur.

Sebagai salah satu masjid tertua di Jawa Barat, Masjid Agung Manonjaya terus berfungsi sebagai pusat ibadah dan warisan sejarah Islam di Priangan Timur. Keindahan arsitekturnya yang tetap dipertahankan menjadikannya destinasi wisata religi serta bukti perjalanan panjang Islam di wilayah ini.

Kini, masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah yang terus dilestarikan oleh masyarakat dan pemerintah setempat agar tetap tegak sebagai bagian penting dari budaya dan sejarah Islam di Indonesia. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |