Surabaya (pilar.id) – Hari Gizi Nasional, yang diperingati setiap 25 Januari, memiliki sejarah panjang sejak pertama kali ditetapkan pada tahun 1960. Di era Presiden Soekarno, pemerintah mendirikan Lembaga Makanan Rakyat (LMR) sebagai respons atas tantangan gizi Indonesia yang saat itu meliputi kelaparan dan stunting akibat transisi ekonomi pasca-kemerdekaan.
Kini, 65 tahun kemudian, Hari Gizi Nasional menjadi momentum penting dalam mendukung program Presiden Prabowo Subianto, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menurut Moordiati SS, M.Hum., dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR), Hari Gizi Nasional memiliki misi besar untuk menciptakan generasi sehat yang mampu membangun bangsa.
“Di masa lalu, fokus utamanya adalah menggali potensi pangan lokal seperti singkong, jagung, dan sagu untuk mengurangi ketergantungan impor sekaligus memberdayakan petani lokal,” ujarnya.
Perjalanan Swasembada hingga Ketergantungan Impor
Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan, khususnya beras, yang menjadi kebanggaan nasional. Namun, globalisasi dan urbanisasi membawa perubahan signifikan dalam pola konsumsi masyarakat.
“Kita memiliki singkong, ubi, hingga tiwul yang kaya nutrisi. Sayangnya, masyarakat justru lebih bangga mengonsumsi makanan cepat saji,” kata Moordiati. Ia mengusulkan pemerintah mencanangkan gerakan makan lokal mingguan untuk semua lapisan masyarakat.
“Bayangkan jika pada satu hari tertentu, semua pegawai negeri, siswa, dan pekerja swasta mengonsumsi produk lokal. Ini tidak hanya meningkatkan gizi, tetapi juga mendorong perekonomian petani lokal,” tambahnya.
Kesenjangan Sasaran dan Tantangan Edukasi
Program MBG yang dirancang untuk mengentaskan gizi buruk dan mengurangi ketergantungan pada makanan cepat saji dinilai belum sepenuhnya efektif.
Moordiati mengungkapkan, banyak masyarakat di desa pesisir Jawa Timur, meskipun memiliki akses ke sumber daya seperti ikan, lebih memilih makanan cepat saji.
“Distribusi makanan bergizi saja tidak cukup tanpa edukasi mengenai pola makan sehat. Di daerah pesisir, misalnya, warga lebih memilih ayam goreng tepung dibandingkan ikan yang melimpah,” jelasnya.
Momentum Refleksi di Hari Gizi Nasional
Hari Gizi Nasional 2025 harus menjadi momen refleksi bagi pemerintah dan masyarakat. Belajar dari sejarah, solusi permasalahan gizi tidak cukup hanya berupa kebijakan populis.
Pendidikan gizi dan promosi pangan lokal perlu menjadi prioritas untuk mendukung program seperti MBG agar berjalan lebih efektif.
“Program MBG bisa menjadi langkah penting untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia jika dirancang dengan matang dan didukung edukasi yang berkelanjutan. Tanpa itu, program ini hanya akan menjadi kebijakan yang terlupakan seperti sebelumnya,” tutup Moordiati. (hdl)