Kritik Wacana Pengembalian Ujian Nasional, Pakar Unair: Perlu Kajian Mendalam

1 week ago 20

Surabaya (pilar.id) – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengadakan kembali Ujian Nasional (UN) dengan sistem evaluasi baru.

Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyatakan bahwa format UN yang baru ini akan berbeda dari model sebelumnya yang menuai banyak kritik.

Merespons wacana tersebut, Guru Besar dan Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si., menekankan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemberlakuan kembali UN.

Ia menyebut kajian harus mencakup tren hasil belajar siswa sejak 2021 hingga 2024 setelah penghapusan UN.

Menurut Prof. Tuti, penerapan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) sebagai pengganti UN sudah cukup efektif mengukur kompetensi siswa selama proses pembelajaran.

Sebaliknya, model UN lama lebih banyak memberikan tekanan karena evaluasi dilakukan di akhir masa pendidikan.

Kritik terhadap UN Model Lama

Prof. Tuti mengungkapkan bahwa UN model lama tidak lagi relevan untuk digunakan sebagai alat evaluasi pendidikan nasional. Ia menyebut sistem tersebut menciptakan dampak negatif bagi siswa, guru, dan sekolah.

“UN model lama adalah bentuk kekerasan simbolik yang memaksa siswa memenuhi standar nilai rata-rata tertentu. Akibatnya, nilai ujian menjadi bias dan subyektif,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa model tersebut membatasi potensi siswa, karena hanya berfokus pada hasil akhir daripada proses berpikir kritis. Kondisi ini juga mendorong banyak siswa bergantung pada bimbingan belajar untuk menguasai soal secara instan.

“Hal ini hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” tegas Prof. Tuti.

Tantangan Pendidikan Nasional

Menyikapi wacana pelaksanaan UN baru, Prof. Tuti mengingatkan tantangan besar terkait ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia.

“Jika UN akan diadakan kembali, metode pelaksanaannya harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing sekolah,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya kesiapan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, siswa, dan orang tua.

Perubahan kebijakan pendidikan setiap pergantian menteri, menurutnya, sering kali menghambat pembangunan sistem pendidikan yang berkelanjutan.

“Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia adalah kurangnya blueprint yang baik dan berdurasi panjang. Padahal, Indonesia memiliki pengalaman historis yang cukup baik dalam mengelola pendidikan,” tambahnya.

Solusi untuk Evaluasi Pendidikan

Sebagai alternatif, Prof. Tuti menekankan pentingnya mengukur keberhasilan siswa dari berbagai dimensi, bukan hanya melalui nilai ujian formal.

“Program literasi dan pembelajaran di kelas yang dikembangkan oleh guru dapat memperkuat kebiasaan belajar siswa. Dengan cara ini, siswa belajar dengan nyaman tanpa tekanan,” tutupnya.

Wacana pengembalian UN kini menjadi sorotan berbagai pihak yang berharap pemerintah mampu menawarkan solusi pendidikan yang lebih inklusif, relevan, dan efektif dalam mencetak generasi penerus bangsa. (usm/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |